Setelah memotret diri sendiri dengan latar belakang kehampaan, aku kembali ke kamarku. Kaus putih polos yang kuambil tadi pagi masih terlihat luar biasa, tapi aku tahu, kaus ini hanyalah kanvas. Kunci dari sebuah mahakarya adalah sapuan kuas yang detail, dan kuas itu ada di sini, di meja riasku. Meja ini bukan cuma tempat menaruh barang. Ia adalah altar. Di atasnya, berjejer botol-botol skincare dengan nama-nama asing, parfum dari berbagai benua, dan pomade yang harganya lebih mahal dari makan malam satu keluarga.
Aku memejamkan mata sejenak, mengambil napas dalam-dalam. Aku bisa merasakan energi semesta berkumpul di ujung jariku. Ini bukan sekadar memakai pelembap. Ini adalah ritual pemurnian. Setiap tetes essence adalah embun pagi dari taman dewa-dewi Yunani. Setiap sapuan krim malam adalah rempah-rempah yang disarikan dari legenda. Aku sedang tidak berdandan, aku sedang menciptakan kembali diriku sendiri.
"Ini bukan sekadar penampilan, Bayu," gumamku pada bayanganku di cermin, "ini adalah manifestasi dari eksistensimu."
Tepat saat aku hendak mengoleskan serum pencerah yang baru kubeli dengan diskon 10%, pintu kamarku terbuka. Ibuku berdiri di ambang pintu, tangannya memegang sapu lidi.
"Bayu, Ibu mau minta tolong," katanya.
Aku menghela napas panjang, menahan frustrasi. Ada apa lagi ini? Apakah Ibu tidak mengerti bahwa aku sedang dalam momen paling krusial? Apakah Nabi Musa diganggu saat menerima Sepuluh Perintah Tuhan?
"Tolong, Bu. Tolong jangan ganggu. Aku sedang di fase 'pembentukan' hari ini," ujarku dengan nada tertekan.
"Pembentukan apa? Kotoran kucing di halaman belum kamu bersihkan. Tolong bersihkan dulu, ya."
Aku menatap tidak percaya. "Kotoran kucing, Bu? Itu adalah masalah fana. Urusan duniawi. Ibu tahu, di luar sana ada orang-orang yang menunggu 'pembentukan' ini selesai? Bayangkan kalau aku keluar dengan wajah yang kurang terawat, apa kata mereka? Aku adalah public figure bagi keluargaku, Bu!"
Ibu menggaruk kepalanya. "Ya sudah, kalau gitu Ayah saja yang bersihkan." Ibu menutup pintu dengan pelan, meninggalkan aku sendirian lagi. Syukurlah.
Aku melanjutkan ritual. Dengan jari telunjuk, aku mengambil sedikit pelembap, lalu mengaplikasikannya ke wajah dengan gerakan memutar yang presisi. Ini bukan sekadar meratakan, ini adalah memijat pori-pori agar menyerap keajaiban. Aku membayangkan kulitku berterima kasih padaku. Mereka tahu, merekalah kanvas yang paling berharga.