Malam itu, Ayah sedang duduk di sofa ruang keluarga, matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan berita tentang kenaikan harga gas elpiji. Bagiku, berita ini sama sekali tidak menarik. Bagiku, satu-satunya "elpiji" yang harus diperhatikan adalah energi positif yang terpancar dari diriku. Tapi Ayah, sepertinya, tidak punya sensor itu.
Aku duduk di sebelahnya. Aku sudah bersiap dengan monolog-monolog yang akan menguji kesabaran Ayah. Aku harus memastikan Ayah tahu, bahwa meskipun ia tidak pernah secara eksplisit mengatakan "Aku bangga padamu, Bayu," itu bukan karena aku tidak layak, melainkan karena ia tidak mampu.
"Ayah," kataku, memecah keheningan. "Ayah tahu, nggak? Tadi aku dapat pesan dari beberapa teman. Mereka bilang, wajahku di postingan siang tadi sangat menginspirasi."
Ayah menoleh sebentar. "Bagus."
"Bagus? Hanya 'bagus', Yah?" Aku pura-pura terkejut. "Ayah tidak tanya, menginspirasi kenapa? Menginspirasi apa?"
"Ayah lagi mikir gimana caranya ngirit gas," Ayah kembali menatap televisi.
"Tapi Ayah, ini tentang aku! Ini tentang putramu yang satu-satunya! Putra yang membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik, satu postingan demi satu postingan!" Aku berusaha meninggikan suaraku, berharap Ayah bisa merasakan getaran dari jiwaku yang berapi-api.
"Mendingan kamu bantuin Ibu di dapur, Bay. Ibumu tadi ngomel-ngomel gasnya habis."
Aku terdiam. Seolah semua kata-kataku kembali mental. "Ayah, apakah Ayah tidak pernah merasa bangga padaku?"
Ayah mematikan televisi, lalu menoleh padaku. Matanya yang tua menatapku dengan lekat. "Bayu, Ayah itu bangga, makanya Ayah kerja keras, supaya kamu bisa jadi orang yang Ayah impikan. Pinter, bertanggung jawab, dan sukses."
Aku merasa ingin menangis. "Nah! Itu dia! Ayah bangga karena aku 'orang yang Ayah impikan'! Bukan karena aku adalah Bayu! Aku ini sudah 'pinter, bertanggung jawab, dan sukses' bahkan tanpa dorongan Ayah!"
"Ya sudah. Kalau gitu, kamu sudah jadi orang yang berhasil. Mau apa lagi?"
"Aku mau Ayah mengakui! Mengakui bahwa aku ini anugerah, Yah! Anugerah bagi keluarga ini!"
Ayah hanya tersenyum. Senyum itu bukan senyum bahagia, melainkan senyum yang mengisyaratkan "sudahlah, Nak, sudah malam." Ia menepuk pundakku.
"Kamu anak Ayah. Titik. Mau apa lagi?" Ia berdiri, lalu berjalan menuju dapur.
Aku terdiam di sofa. Kekecewaan membanjiri hatiku. Ayah tidak mengerti. Ayah tidak bisa memahami. Tentu saja, ia hanya seorang pria paruh baya yang hanya mengerti soal harga gas dan koran. Aku, sebagai bintang paling terang, tidak bisa berharap ia mengerti kompleksitas cahayaku.
Tapi kemudian, aku tersenyum. Aku harus memaafkan Ayah. Aku harus memaklumi. Ia butuh waktu untuk mencerna. Ia butuh waktu untuk menerima. Dan aku, Bayu Cakra, dengan kerendahan hati yang luar biasa, akan terus bersinar, sampai suatu hari nanti, Ayah tidak lagi hanya bangga, tapi juga… terinspirasi.
***
Siang itu, rumah dipenuhi aroma kari ayam. Sebuah aroma yang akrab, hangat, dan... sangat tidak berani. Kari ayam adalah simbol dari zona nyaman, dari tradisi yang tidak pernah mempertanyakan dirinya sendiri. Dan aku, Bayu Cakra, adalah antitesis dari semua itu.
Aku masuk ke dapur, melihat Ibu sedang sibuk menata masakan di meja makan. Nasi putih, kari ayam, dan tumis kangkung. Sebuah trio yang harmonis, tapi hampa.
Aku mendekat, melihat ke piringku yang sudah disiapkan. Ibu menoleh dengan senyum.
"Wah, pas sekali. Baru selesai masaknya. Sini, Bay, makan," ajak Ibu, suaranya dipenuhi kehangatan yang, sayangnya, tidak bisa disamakan dengan branding personal.
Aku menatap piring itu dengan cermat, seolah-olah aku adalah juri MasterChef. "Bu, kari ayam ini..." Aku berhenti sejenak, membuat Ibu penasaran.
"Kenapa? Rasanya kurang pas?" tanya Ibu khawatir.