Aku Adalah Pusat Semesta

awod
Chapter #4

#4

Hari itu, alam semesta seolah-olah bernapas lega. Udara terasa lebih segar, burung-burung berkicau dengan melodi yang lebih merdu, dan matahari, oh, matahari, ia bersinar dengan kehangatan yang berbeda. Hari ini adalah hari besar. Hari ini, 22 April, adalah hari ulang tahunku, Bayu Cakra. Aku berulang tahun ke-27. Angka yang sempurna. Dua dan tujuh. Sebuah kombinasi yang mewakili dualitas antara masa lalu dan masa depan, serta kekuatan spiritual yang tak terbantahkan.

​Sejak pagi, aku sudah menata diriku dengan penuh kehati-hatian. Kemeja putih polos yang sudah dilipat sempurna, celana chino berwarna krem yang baru kuseterika, dan rambut yang kutata dengan pomade terbaik. Aku tidak ingin tampil berlebihan. Aku ingin terlihat seperti sebuah karya seni yang tidak membutuhkan bingkai. Aku menunggu. Menunggu momen di mana keluargaku, setelah berbulan-bulan melihatku sebagai 'Bayu yang hobi foto', akhirnya menyadari bahwa aku adalah 'Bayu sang anugerah'.

​Malam harinya, di ruang makan yang sama tempat tragedi sarapan terjadi, sebuah kue ulang tahun kecil terhidang. Di atasnya, lilin angka '27' menyala dengan malu-malu, seolah takut cahayanya akan kalah terang dengan aura diriku. Ibu, Ayah, dan Rina duduk mengelilingi meja, tatapan mereka, meskipun terlihat lelah, hari ini tampak lebih... sabar.

​"Selamat ulang tahun, Mas Bayu," kata Ibu, senyumnya hangat. "Semoga panjang umur dan makin sukses."

​Ayah mengangguk. "Semoga lekas dapat kerja yang beneran, Bay. Biar bapak bisa istirahat."

​Rina, yang biasanya sibuk dengan ponselnya, kini menatapku. "Selamat ulang tahun, Mas. Semoga nggak makin aneh."

​Aku tersenyum maklum. Aku tahu, mereka tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata yang layak. Aku mengerti. Seseorang yang terbiasa hidup di bawah bayangan tidak akan pernah bisa menggambarkan rasanya berdiri di bawah sinar matahari. "Terima kasih, Ayah, Ibu, Rina," kataku dengan suara yang penuh haru. "Sebuah kehormatan bagi semesta bisa mencapai titik ini. Aku tahu, kalian semua beruntung punya aku."

​Kami menyanyikan lagu "Selamat Ulang Tahun" dengan nada yang tidak merdu sama sekali. Ayah bernyanyi fals, Rina terlalu malas untuk membuka mulut lebar-lebar, dan Ibu mencoba menutupi semua kelemahan itu dengan suaranya yang lembut. Aku, di sisi lain, bernyanyi dengan penuh penghayatan, membayangkan sebuah paduan suara di belakangku dan kamera yang berputar mengelilingiku.

​Setelah selesai, aku memejamkan mata, meniup lilin dengan tiupan yang dramatis, seolah-olah aku sedang memadamkan api kebencian di seluruh dunia. 

Setelah itu, tibalah momen yang paling kunantikan. Momen pemberian kado.

​Ibu adalah yang pertama menyerahkan kado. Sebuah kotak kecil, dibungkus dengan kertas kado bermotif bunga-bunga yang sangat, sangat... vintage. Aku mengambilnya dengan gerakan lambat, seolah-olah aku sedang menerima piala Oscar.

​"Terima kasih, Bu," kataku. "Dari luar, bungkusnya sudah sangat... jujur. Menggambarkan kesederhanaan, tapi penuh makna."

​Aku membuka bungkusnya dengan hati-hati. Di dalamnya, ada sebuah kotak dari sebuah toko serba ada. Dan saat kotak itu kubuka, mataku hampir tidak percaya. Di dalamnya, terlipat rapi, adalah sebuah set pakaian tidur. Kaos oblong berwarna abu-abu, dan celana panjang dari bahan katun dengan motif kotak-kotak.

​Aku menatapnya. Lalu menatap Ibu.

​"Piyama?" tanyaku, suaraku nyaris tak terdengar.

​Ibu tersenyum. "Iya, Bay. Piyama. Punya kamu yang lama kan sudah bolong-bolong. Jadi Ibu belikan yang baru."

​"Tapi... piyama, Bu? Piyama?" Aku mengangkat piyama itu, menatapnya seperti menatap sebuah alien yang baru turun dari UFO. "Ibu tidak mengerti. Aku ini seorang visioner, Bu. Aku adalah trendsetter. Kado ulang tahunku seharusnya bukan piyama. Kado ulang tahunku seharusnya adalah, entah, sebuah kamera baru? Atau drone? Atau, setidaknya, sebuah buku biografi tentang seorang tokoh besar yang bisa saya tandatangani sendiri!"

​"Kamu kan butuh istirahat, Bayu. Makanya Ibu kasih piyama," kata Ibu, tidak terpengaruh oleh monolog dramatisku. "Biar nyaman tidurnya."

​Aku menghela napas. Aku harus memaafkannya. Ibuku hanya melihat fisik. Ia tidak melihat visi.

​Selanjutnya, Ayah. Ayah memberiku sebuah kotak kecil, tanpa bungkus kado, seolah-olah ia tidak punya waktu untuk drama. Aku membukanya. Di dalamnya, ada sebuah dompet kulit berwarna hitam. Mereknya tidak terkenal, dan bentuknya sangat standar.

​"Dompet?" tanyaku.

​"Iya, dompet," jawab Ayah. "Dompet kamu yang lama kan sudah lusuh. Kelihatan tidak profesional."

​Aku menatap dompet itu. Sebuah dompet. Tempat menyimpan uang. Ayah, dengan segala hormat, masih menganggapku sebagai makhluk fana yang butuh uang. Ia tidak mengerti bahwa aku tidak butuh uang aku butuh pengaruh. Uang akan datang dengan sendirinya, saat pengaruhku mencapai puncaknya. Kado ini... adalah manifestasi dari ketidakpercayaan Ayah.

Lihat selengkapnya