Udara siang itu terasa seperti permadani yang baru dihamparkan. Hari ini adalah hari Reuni Akbar SMA 12 Tunas Bangsa, angkatan 2012. Aku, Bayu Cakra, tidak melihat acara ini sebagai sekadar ajang temu kangen. Bukan. Ini adalah Pameran Tunggal Bayu Cakra. Ini adalah momen untuk memvalidasi bahwa Bayu 27 tahun jauh lebih unggul, lebih estetik, dan lebih berkelas daripada Bayu 18 tahun yang masih konyol. Reuni adalah panggung, dan aku adalah bintangnya.
Sejak siang, aku sudah melakukan persiapan yang luar biasa. Pilihan pakaian adalah keputusan yang paling krusial. Setelah menimbang-nimbang antara kemeja linen putih yang akan membuatku terlihat seperti penulis novel sukses di Bali, atau polo shirt hitam yang akan memancarkan aura pengusaha misterius, aku memutuskan untuk menggabungkan keduanya. Aku memilih sebuah t-shirt polos berwarna abu-abu tua dari merek yang hanya akan diketahui oleh orang-orang yang sangat mengerti fashion, dipadukan dengan blazer berwarna krem yang kubeli dari toko barang bekas namun berhasil kumodifikasi menjadi vintage dan effortless. Celananya, tentu saja, celana chino yang sama seperti kemarin, tapi hari ini akan dipasangkan dengan sabuk kulit yang sangat menawan. Sepatu kulit loafers yang kupoles hingga memantulkan pantulan wajahku. Sempurna. Aku tidak terlihat seperti orang yang berusaha, aku terlihat seperti orang yang memang sudah jadi.
Ritual dandanku hari ini lebih sakral dari biasanya. Serum pencerah, face oil, pelembap, dan akhirnya, sedikit concealer di bawah mata untuk menyembunyikan fakta bahwa aku tidak tidur nyenyak karena terlalu sibuk memikirkan strategi branding untuk reuni ini. Rambutku kutata dengan gaya yang terkesan acak, tapi sebenarnya setiap helai rambut sudah diatur dengan presisi militer. Bau parfumku, yang sengaja kupilih aroma musk dengan sentuhan citrus, akan membuatku terkesan sebagai sosok yang hangat tapi berjarak, mudah didekati tapi sulit digapai.
"Mas, sudah siap?" tanya Rina dari balik pintu. "Sudah dijemput Mas Riko tuh."
Aku menatap pantulanku di cermin satu kali lagi, mengangguk penuh percaya diri. "Tentu saja. Seorang seniman tidak akan pernah datang terlambat ke pamerannya sendiri."
Aku keluar dan mendapati Riko, sepupuku sekaligus sahabatku sejak SMA, sudah menunggu di teras. Riko adalah antitesisku. Dia mengenakan kaos band yang sudah lusuh, celana jeans belel, dan sepatu kets yang kotor. Penampilannya adalah sebuah perlawanan terhadap estetika.
"Gokil! Udah lama nggak liat lo dandan kayak gini," kata Riko, tertawa. "Kayak mau kondangan aja."
Aku menatapnya dengan tatapan kasihan. "Ini bukan dandan, Riko. Ini adalah manifestasi. Pakaian ini adalah pernyataan. Dan reuni ini adalah saatnya kita membuat pernyataan. Kamu harusnya pakai baju yang lebih... berani. Tapi ya sudahlah. Hari ini, kamu akan jadi sidekick-ku. Sidekick seorang visioner tidak perlu terlalu bersinar."
Riko hanya menggaruk kepalanya, lalu menyalakan motornya. Perjalanan kami di atas motor tua milik Riko adalah sebuah metafora. Aku, seorang raja, diantar oleh pengawal setianya ke medan perang.
Tiba di lokasi reuni, sebuah kafe yang di-booking khusus, aku mengambil napas dalam-dalam. "Riko, sebelum kita masuk, ingat, kita tidak datang untuk nostalgia, kita datang untuk masa depan, dan masa depan itu adalah aku."
Aku melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Aku membayangkan sorak sorai, bisik-bisik kekaguman, dan tepuk tangan. Tapi yang kudapatkan hanyalah suara musik pop tahun 2010-an dan orang-orang yang sibuk mengobrol di kelompok kecil mereka. Tidak ada yang menoleh, tidak ada sambutan karpet merah. Aku merasa seperti pahlawan yang baru kembali dari perang, tapi rakyatnya sedang sibuk dengan gosip.
"Bro, sana ada Gani," bisik Riko. "Itu si ketua kelas."
Aku menoleh. Gani, si ketua kelas yang dulu sangat lugu, kini terlihat sangat dewasa. Ia mengenakan kemeja rapi, jam tangan yang terlihat mahal, dan sedang tertawa dengan sekelompok teman-teman yang lain. Aku melangkah mendekat.
"Gani! Apa kabar! Lupa ya sama aku? Bayu!" ujarku, dengan nada yang dibuat-buat ramah.