Aku Adalah Pusat Semesta

awod
Chapter #6

#6

Aku berjalan keluar kafe, merasakan kekalahan yang pahit. Reuni ini memang bukan tentang aku. Tapi itu tidak masalah. Karena di masa depan, saat aku sudah menjadi legenda, mereka akan menyesal. Mereka akan melihat foto reuni ini, dan berkata, "Ya ampun, kita pernah satu SMA dengan Bayu. Tapi kita tidak pernah benar-benar mengenalnya."

​Ya. Aku, Bayu, bukan nostalgia yang mereka cari. Aku adalah masa depan yang mereka tolak. Dan suatu hari nanti, penolakan itu akan menjadi penyesalan terbesar dalam hidup mereka.

​Hembusan angin senja membelai wajahku saat motor Riko membelah jalanan yang mulai meremang. Aroma knalpot yang pekat, debu jalanan, dan suara mesin yang berisik adalah melodi ironis dari sebuah kekalahan. Aku duduk di jok belakang motor butut Riko, punggungku terasa pegal, dan hatiku... hampa. Reuni yang kuharapkan menjadi pameran seni visual dan monolog inspiratifku, ternyata hanyalah ajang pamer cicilan mobil dan foto-foto anak yang tidak estetik.

​Riko, yang menyetir di depan, adalah satu-satunya orang di dunia ini yang benar-benar menyaksikan kekalahan artistikku. Namun, aku harus segera mengubah narasi ini. Kekalahan tidak pernah ada dalam kamusku yang ada hanyalah penolakan, dan penolakan adalah bahan bakar yang lebih kuat daripada tepuk tangan.

​"Bro," kataku, suaraku sedikit tenggelam oleh suara mesin. "Kamu tadi lihat, kan? Betapa dangkalnya mereka."

​Riko hanya mengangguk. "Ya, begitulah, Bay. Namanya juga orang-orang. Mereka kan sudah punya kesibukan masing-masing."

​"Itu bukan 'kesibukan', Riko. Itu adalah pelarian. Mereka lari dari kenyataan bahwa hidup mereka membosankan. Gani, si ketua kelas yang dulu begitu polos, sekarang jadi budak korporat. Matanya buta karena angka. Clara, si penyair yang dulu punya jiwa, sekarang jadi pengusaha katering. Tangannya sibuk dengan sambal, bukan pena. Mereka semua sudah jadi produk. Produk dari sistem yang sama. Mereka sudah tidak punya jiwa."

​"Ya, tapi kateringnya Clara kan laris, Bay. Aku dengar dari Gani, dia dapat untung banyak," jawab Riko dengan santai, seolah-olah untung adalah hal yang penting.

​Aku menghela napas. "Untung? Riko, kamu harus naik level. Untung itu adalah hasil, bukan tujuan. Tujuan hidup kita itu adalah makna. Apa makna dari jualan katering? Apa makna dari jadi budak korporat? Tidak ada. Tidak ada!"

​Kami berhenti di lampu merah. Aku menepuk bahu Riko. "Kamu, Riko, adalah satu-satunya harapan. Kamu adalah kanvas kosong yang belum tercemar. Kamu punya potensi untuk menjadi sesuatu yang lebih."

​Lampu berubah hijau. Riko kembali tarik gas motornya. "Aku sih cuma jadi Riko aja, Bay. Sahabatmu. Sepupumu. Itu sudah lebih dari cukup."

​Aku menggeleng. Betapa naifnya Riko. Ia tidak tahu bahwa menjadi sahabatku bukanlah sekadar status. Itu adalah panggilan. Sebuah tugas.

​"Kita mampir dulu, Bay. Lapar nih. Aku mau cari bakso," kata Riko, membelokkan motornya ke sebuah gang.

Lihat selengkapnya