Setelah kegagalan total di reuni, aku kembali ke habitat asalku, ruang keluarga yang hening. Hati kecilku terasa remuk, terhimpit oleh kenyataan bahwa dunia luar belum siap menerima keagungan Bayu Cakra. Namun, seorang pemimpin tidak pernah menyerah. Jika panggung fisik terlalu kecil, maka panggung virtual harus kubajak. Tujuanku selanjutnya adalah grup WhatsApp "Alumni SMA 12 Tunas Bangsa 2012". Sebuah tempat yang kuharap akan menjadi ladang subur untuk menaburkan benih-benih pencerahan.
Aku duduk di sofa, memegang ponselku seperti seorang panglima perang memegang pedang. Aku membuka aplikasi WhatsApp dan mencari nama grup itu. Betapa menyedihkan. Grup itu adalah gurun pasir digital. Pesan terakhir yang masuk adalah tiga hari yang lalu tentang lokasi reuni. Sebelumnya, ada pesan dari Sinta yang menginformasikan lowongan kerja. Dan jauh sebelum itu, adalah pesan selamat lebaran yang dibanjiri stiker-stiker konyol. Grup ini laksana sebuah kuburan. Kuburan tempat ambisi dan visi dikuburkan. Aku harus melakukan sesuatu.
"Bayu, ini saatnya kamu menjadi cahaya," gumamku pada layar ponselku. "Kamu harus menjadi Mesias digital bagi mereka."
Aku membuka kolom pengetikan, jari-jariku menari di atas keyboard. Aku tidak akan mengirim pesan yang biasa-biasa saja. Aku akan mengirim sebuah pernyataan, sebuah esai pendek yang akan membuat mereka semua terdiam, merenung, dan akhirnya, mengakui kejeniusanku. Aku mulai mengetik dengan penuh konsentrasi.
Halo semua. Semoga kita semua berada dalam kondisi yang baik, dalam arti yang sebenarnya. Bukan hanya 'baik' karena hari ini kita makan enak atau mendapat rejeki nomplok. Tapi 'baik' karena kita sudah bertanya pada diri kita sendiri: 'Apa makna hidup yang sesungguhnya?' Jangan biarkan rutinitas membunuh jiwa kita. Jangan biarkan masa lalu menutupi masa depan kita. Reuni kemarin adalah sebuah pengingat, bahwa kita harus maju, dan tidak melihat ke belakang. Majulah, teman-teman. Majulah, dan temukan cahayaku yang ada di dalam dirimu.
Aku membaca ulang pesan itu, mengangguk puas. Kata-katanya dalam, puitis, dan yang paling penting, sangat aku. Pesan ini bukan hanya pesan, ini adalah sebuah manifesto. Sebuah undangan untuk mereka semua agar berpikir.
Aku menekan tombol kirim.
Aku menunggu.
Satu menit. Nol notifikasi.
Lima menit. Nol notifikasi.
Sepuluh menit. Nol notifikasi.
Aku merasa cemas. Apakah pesanku terlalu dalam? Apakah pesanku terlalu berat untuk dicerna oleh otak-otak yang sudah tercemar oleh sinetron dan gosip artis? Aku mulai merasa kesal.
Apakah aku harus menganggap keheningan ini sebagai 'renungan' atau 'penolakan'? Pikirku. Mungkin mereka sedang menangis, membaca pesanku, menyesali semua keputusan hidup mereka yang salah. Ya, itu pasti. Mereka sedang menangis. Menangisi diri mereka yang membosankan.
Tepat saat aku hendak mengirim pesan kedua, sebuah notifikasi muncul. Jantungku berdegup kencang. Ah, ini dia! Respon pertama. Aku membayangkan Gani membalas, "Wah, Bayu! Kamu benar! Reuni kemarin membuatku sadar bahwa hidupku hampa! Aku akan resign besok!" Atau Clara, "Bayu! Puisi digitalmu membuatku ingin kembali menulis! Aku akan tutup kateringku dan fokus pada seni!"
Aku membuka grup chat, dengan tangan sedikit gemetar. Pesan itu dari seorang teman bernama Joni, si anak IPA yang pendiam. Pesannya berbunyi:
Guys, ada yang nemu KTP gue gak? Kayaknya jatuh di lokasi reuni kemarin. Tolong info ya.
Aku menatap pesan itu. KTP. Kartu Tanda Penduduk. Sebuah kartu identitas fana yang hanya berisi data-data fisik dan alamat rumah. KTP, sebuah artefak yang tidak memiliki jiwa. KTP.