Kekalahan di grup WhatsApp adalah sebuah pukulan telak. Aku, Bayu, telah menumpahkan segala isi hati dan pemikiran terdalamku, namun balasan yang kudapat hanyalah obrolan tentang KTP yang hilang. Rasanya seperti melempar intan ke kolam lumpur. Di tengah kekosongan itu, sebuah kesadaran muncul, menusuk sanubariku dengan tajam, dunia ini tidak punya sejarawan yang layak. Tidak ada yang mendokumentasikan kehebatan Bayu Cakra. Jika aku tidak melakukannya sendiri, maka sejarah akan hampa.
Maka, di malam yang hening itu, aku memutuskan aku akan menulis buku biografiku sendiri. Bukan hanya sekadar biografi, ini adalah kitab suci tentang perjalanan seorang visioner, sebuah peta jalan bagi mereka yang tersesat di rimba mediokritas. Judulnya sudah terpikirkan: Aku, Semesta, dan Waktu: Kisah Seorang Pahlawan yang Terlahir di Zaman yang Salah.
Aku beranjak dari sofa, berjalan ke kamarku dengan langkah yang mantap. Meja riasku, yang kini telah berubah fungsi menjadi meja kerja, menjadi saksi bisu dari keputusan bersejarah ini. Aku mengambil sebuah buku catatan bersampul hitam yang masih kosong dan sebuah pulpen yang berharga dari kotak pernak-pernikku. Pulpen ini bukanlah sekadar pulpen, ia adalah artefak yang akan mengalirkan energi dari otakku ke atas kertas.
Aku duduk, menegakkan punggung, dan mulai merenung. Aku harus membuat kalimat pembuka yang sempurna. Kalimat yang akan membuat pembaca terpaku, terperangah, dan menyadari bahwa mereka sedang memegang sebuah mahakarya. Aku membayangkan kalimat seperti, "Lahir di sebuah kota kecil, jauh dari gemerlap panggung dunia, Bayu Cakra sudah menyadari, bahwa ia bukanlah milik takdir, melainkan penciptanya."
"Ah, terlalu dramatis," gumamku pada diriku sendiri. "Terlalu mainstream. Aku butuh sesuatu yang lebih lugas, lebih menohok."
Aku membuang ide itu. Aku kembali memejamkan mata, memikirkan sebuah kalimat yang akan membuat pembaca merasakan getaran dari jiwaku. Akhirnya, sebuah ide cemerlang muncul. Sebuah kalimat yang sederhana, tapi penuh dengan beban makna.
Aku menuliskannya di buku catatan hitam itu:
Di setiap hembusan napasku, ada sebuah kebenaran yang tidak bisa dijelaskan. Dan kebenaran itu adalah aku.
Aku tersenyum puas. Itu dia. Sebuah kalimat yang jujur, otentik, dan sangat, sangat aku.
Aku mengambil napas dalam-dalam, siap untuk melanjutkan ke halaman berikutnya, saat Ibu membuka pintu kamarku.
"Bayu, Ibu mau minta tolong," katanya, menatapku dengan tatapan waspada. "Ke warung, belikan garam. Habis."
Aku menatap Ibu dengan tatapan tajam. "Bu. Ibu tidak lihat? Ibu tidak lihat apa yang sedang saya lakukan? Saya sedang mengukir sejarah! Saya sedang menciptakan sebuah warisan!"