Aku duduk didepan kue ulang tahun bertulis angka 17. Ayah dan Ibu sudah sangat berusaha mendekor rumah begitu aku bilang kalau beberapa temanku akan datang. Tentu saja mereka sangat senang karena mereka tahu tentang kesulitanku dalam berteman. Adrian adalah sosok teman pertama kali yang aku kenalkan pada mereka. Adrian dengan senyum lebarnya memperkenalkan dirinya saat Ibu menjemputku disekolah. Ia juga mengatakan kalau dia memarahi anak laki-laki yang sering menggangguku. Ibu tersenyum senang mendengar ucapan Adrian lalu meminta bantuannya untuk menjaga disekolah. Adrian mengangguk.
Bahkan rasanya anak itu sudah menjadi anak kedua orangtuaku. Tanpa ada rasa malu dan segan, ia mampir kerumah dan menganggapnya sebagai rumah keduanya. Bahkan dia masuk ke kamarku tanpa perlu mengetuk terlebih dahulu. Namun, seiring dengan berjalannya waktu banyak perubahan yang terjadi pada diri setiap orang. Aku kan bukan anak kelas 4 SD lagi.
Aku lihat beberapa teman dan juga keluargaku yang saling mengobrol. Tanpa sadar mataku selalu tertuju kearah pintu. Adrian. Rasanya kurang tak ada Adrian, biasanya setiap tahun dia selalu ada namun kali ini rasanya benar-benar ada yang hilang. Detik, menit bahkan jam berikutnya tak kutemukan sosok dirinya datang dan bahkan sampai semua teman dan keluarga yang lain pulang, wajahnya tak kunjung muncul juga. Aku pun membantu Ibu membereskan ruang keluarga yang kami gunakan tadi.
“Adrian gak dateng Nas?” tanya Ibu sambil mencuci gelas dan piring di wastafel. Aku menggelengkan kepalaku.
“Adrian sibuk, Bu” jawabku yang dibalas anggukan Ibu. Aku pun meletakkan sisa kue ke dalam lemari pendingin. Aku akan membawanya besok, lumayan untuk dimakan bersama Rere, teman sebangku ku dikelas. Potongan milik Adrian juga akan aku bawa. Setelah meminta izin ke Ibu untuk ke kamar duluan, aku segera mengambil handuk lalu mandi. Mungkin mandi air dingin akan menyegarkan tubuh dan juga pikiranku malam ini.
Aku merebahkan tubuhku diatas kasur lalu menyelimuti tubuhku dengan selimut yang berwarna pink, kado ulang tahun dari Ayah beberapa tahun yang lalu. Ponselku berbunyi ketika rasa kantuk akan membawaku ke dunia mimpi yang indah. Aku mengambil ponselku diatas meja disamping tempat tidurku. Nama Adrian terpampang dilayar ponselku.
Aku ragu untuk menerima panggilan darinya. Entah mengapa, hatiku terasa sakit tanpa kehadirannya malam ini. Akhirnya panggilan itu berakhir tapi tak lama kemudian panggilan telepon dari Adrian kembali muncul dilayar ponselku. Setelah beberapa detik berpikir, aku menggeser tombol hijau tersebut.
Aku diam dan Adrian juga belum mengatakan apapun.
“An…,” sapanya lembut.
“Iya Yan. Kenapa nelpon malam-malam gini?”
Adrian diam sejenak. Bisa kudengar hembusan nafas kasar dari benda pipih ditanganku ini.
“Maaf ya aku gak bisa dateng ke acara kamu,” pintanya dengan penuh penyesalan.
“Iya, gakpapa. Kenapa minta maaf lagi sih? Semalam kan udah bilang memang gak dateng?” gumamku pelan. Tanpa kusadari setitik air mengalir diwajahku. Aku pun mengadahkan wajahku ke atas untuk menghindari air mataku jatuh kembali.
“Aku ngerti kok. Aku paham. Gakpapa Yan,” jawabku lagi menyakinkannya.
“Yaudah, kamu tidur gih. Maaf nelpon kamu larut malam begini,” kata Adrian akhirnya setelah beberapa detik diam.
“Iya, kamu juga ya. Ingat, besok masih sekolah bukan hari minggu,” candaku berusaha mencairkan suasana.
“Iya,” jawab Adrian sambil tertawa kecil sebelum mengakhiri panggilan teleponnya.
Aku menatap sejenak ponsel itu lalu kembali meletakkannya ke atas meja. Air mataku berikutnya kembali pecah. Dadaku sesak mendengar suaranya, mendengar ucapan maafnya. Aku seperti kehilangan seseorang yang begitu berharga.
HUH ! Sepertinya aku cengeng sekali hanya karena Adrian gak bisa datang ke pesta ulang tahunku. Lebay lebay lebay !
Aku segera menghapus air mataku lalu kembali tidur. Mungkin sudah saatnya aku harus bisa belajar tanpa Adrian. Aku sudah 17 tahun. Mau sampai kapan ketergantungan terus sama Adrian. Tak selamanya dia akan selalu ada disampingku dan tak menutup kemungkinan dia akan meninggalku juga. Jadi aku harus mampu melawan beratnya arus kehidupan ini bersama diriku sendiri.
***
Hari ini aku berangkat ke sekolah sendirian. Adrian mengirim pesan tadi pagi kalau ia tidak bisa menjemputku pagi ini. Aku berjalan pelan menuju kelasku. Kelas masih kosong ketika aku masuk. Yang kutemukan adalah sebuah sepotong kue coklat dengan lilin angka 17 diatas mejaku. Aku tahu ini dari siapa. Siapa lagi kalau bukan Adrian. Berikutnya sebuah lengan terjulur dari belakang dengan kotak kecil berwarna perak digenggamannya. Aku tersenyum. Aku segera berbalik badan dan menemukan wajah yang sangat familiar dengan senyuman favoritku. Raut menyesalnya juga masih terlukis jelas di wajahnya. Aku tersenyum lalu menerima hadiah pemberiannya.
“Makasih ya. Kamu selalu terbaik,” ucapku dengan semangat padanya.
“Aku harap kamu suka,” kata Adrian sambil mengelus rambutku, seperti biasa ia lakukan.
“Apapun yang kamu berikan, aku pasti suka. Makasih ya, untuk kuenya juga,” kataku lagi sambil melirik red velvet yang ada diatas mejaku. Ia tertawa lalu mengangguk. Adrian berjalan menuju mejaku lalu menyalakan lilin itu. Ia pun membawa kue itu ke hadapanku.
“Make a wish, please,” pintanya.
Aku segera menutup mataku dan membuat permohonan. Begitu selesai, aku pun meniup lilin tersebut.
“Selamat ulang tahun Ana,” ucap Adrian lalu memelukku. Aku tersenyum lalu mengangguk.