Ruangan itu sebenarnya nggak nyeremin kaya lorong rumah sakit yang ada suster ngesotnya. Nggak juga kaya rumah yang sering dipake syuting film horor. Namun, hawanya lebih serem dari itu semua.
Sandi sih biasanya aja. Dia nggak ada takut-takutnya sama Bu Sinta. Otak Sandi encer. Bisa memahami coretan penuh imajinasi dari Bu Sinta. Alhasil, dua kali bimbingan, dia sudah bisa acc.
"Kalo masuk nanti, sekalian ngambil skripsimu," saran Sandi.
Aku meliriknya tajam. Ingin kutelan saja anak itu bulat-bulat. Sial, ah, pokoknya kalo ketemu dosen kaya gini, bukan takut dimarahin, males. Malesss banget, asli. Semua dendam, memuncak dan butuh pelampiasan.
"Tunggu bentar," tahanku.
Aku menahan Sandi di ujung tangga lantai dua. Tepat di samping kiri adalah ruangan Bu Sinta. Begitu kaki kami menapak lantai ruangan itu, sudah tercium aroma kami oleh Bu Sinta.
"Ngapain?"
"Nyiapin mental lah! Tunggu bentar aja sih!"
Aku memejamkan mata, khusyuk berdoa.
Ya Allah, kali ini saja, jadikan aku Hellboy sungguhan. Beri aku kekuatan. Kekuatan menghadapi kekejian di dunia ini.
"Ok, siap!"
Sandi menggeleng. Mungkin baru tersadar punya sahabat seaneh diriku.
Dia melangkah lebih dulu, disusul diriku. Pintu ruangan Bu Sinta diketuk Sandi perlahan sambil mengucapkan salam tak lupa dibubuhi nama, status kemahasiswaan, jurusan, dan tahun angkatan sebagai password memasuki ruangan.
Tak lama suara Bu Sinta terdengar mengizinkan kami masuk. Saat aku masuk, kutangkap wajah syok seperti bertemu mantan saat kondangan.
"Ngapain?" tanya Bu Sinta tanpa basa-basi.