Setengah mati aku berupaya mengaitkan kancing celana ini. Sembilan tahun lalu tidak begitu. Aku mengenakannya lagi. menemukannya di antara timbunan barang-barang yang dimuseumkan istriku sedari dulu, sebelum kelahiran anak-anakku. menatap lorengnya mendentumkan dadaku.
“Sudah rapuh.” istriku protes lagi. “Dipakai jongkok juga sobek.”
Aku mengempiskan perut yang sudah memalukan bentuknya itu. “Kata siapa?”
Ugh. Berhasil.
Aku mengunci kancing model jahitan di bagian dalam itu, menyusul dua kancing pengganti retsleting di bawahnya. mengikat tali berkelir sama yang mengetatkan pinggang. Semacam gesper pencekik celana.
“Nggak, tuh.” Aku berjongkok, mendemonstrasikan kekuatan celana tentara yang berkali-kali dijahit istriku.
Berlubang-lubang lambat laun karena telah dipakai bertahun- tahun.
Aku menghampiri cermin. Orang dalam kaca, dia yang sangat mirip diriku, mengenakan celana loreng itu. membuatku tersenyum. Celana ini, panjang nian sejarahnya. menjadi berarti ketika nanti, mungkin petualangan tak akan ada lagi. Aku mengingat pesan pendek itu. Pada sore dingin di sela tenggat waktu berita yang harus kusunting, dalam obrolan sebelum tsunami, Samu mengirimiku pesan pendek yang kusimpan tenang dalam kepalaku:
“Ada cln, dah sbek di dngkul. Tp itu tak pake 1th kmr. Kontak sjt dg
sktr 10 GAM. 3 rkanku kn tmbk, n 1 litingku ggr. 2 GAM twas n 1 pcuk
M 16 kt sita. Km mau itu? Bt aq, itu plg brsjrh slm in i ....’’
Barangkali pernah, dalam hidupmu, engkau memiliki simpul persahabatan yang engkau percaya, tak ada tandingannya. Engkau mengandalkannya kadang lebih dibanding engkau memercayai kemampuanmu sendiri. Engkau mengenangnya seperti halnya Padi melagukan Harmoni. Engkau merasa tidak mungkin berdiri hari ini tanpa dirinya di masa lalu, meski di masa nanti, di mana dia, engkau tak tahu lagi.
Aku pernah.
Masih.
Akan selalu.
Merasa bahwa seseorang di belakangku telah mematangkanku. membentukku, terkadang justru di luar kesengajaan yang dia tahu. Jika engkau telah seusiaku, engkau akan mulai berpikir, tidak ada masa lalu yang memberatkan. Tidak ada kenangan yang memburamkan. hanya sebuah perjalanan menuju benderang. maka, apa yang ada di belakang punggungmu adalah anak tangga yang mesti engkau lalui sebagai penyebab takdirmu, hari ini.
“Ada celana, sudah sobek di dengkul. Tapi, itu aku pakai setahun kemarin. kontak senjata dengan sekitar sepuluh GAM. Tiga rekanku kena tembak, dan satu litingku gugur. dua GAM tewas dan satu pucuk M-16 kita sita. kamu mau itu? Buat aku, itu paling bersejarah selama ini.”
***
Gunung Kidul akhir 80-an. Ketika Nike Ardilla begitu fenomenal, Album Minggu Kita di TVRI, dan Amy Search memopulerkan Isabella.
“Sebentar lagi poso yo, Ru?’’
Aku tak akan pernah yakin betul seperti apa suasananya. itu sudah lebih dari dua puluh tahun lalu. Samu menanyaiku tentang poso: bulan ramadhan yang selalu mengundang kekangenan, sewaktu kami ngisis: mentakzimi angin semilir di bawah beringin besar di tengah-tengah dusun kami di pesisir gunung kidul.
“He ... eh.’’
Kurasa, waktu itu, aku lebih menikmati suara angin yang bercabang-cabang menabrak dedaunan. Aku menjawab seperlunya.
Samu duduk menyender di pokok pohon raksasa yang hari ini mengingatkanmu kepada vegetasi di dunia Lord of The Ring.
Aku bahkan tak terlalu yakin, bagaimana rupa Samu ketika itu. Selain potongan rambut buntut urang: seperti “ekor udang” di tengkuknya, hal yang paling kuingat benar, kaus bergambar gaban yang Samu kenakan. itu superhero yang tidak dikenal anak-anak masa ini. Aku pun hanya ingat kepala robotnya. Tipikal superhero Jepang berkostum futuristik dan punya kendaraan robot besar yang bisa digabung-gabung.
“Kamu mau poso, ndak?’’
Aku rada serius kemudian. menoleh ke Samu, karena pertanyaan kawan kecilku itu seperti mengejek rekor panjang tak terpatahkan sejak kali pertama aku berpuasa. Aku tidak pernah batal puasa sejak kelas empat Sd dan berlanjut sampai hari ini, ketika engkau baca kisahku ini. Sekitar 20 kali ramadhan; ketika semakin menua ritus tahunan itu benar-benar menjadi ritus semata. Aku harus pulang ke masa kanak-kanak untuk benar-benar menikmatinya, merayakannya.
“Iya, no.’’
Engkau akan sangat asing dengan imbuhan “No” di belakang kata “Iya” itu. di telingamu, sekilas keduanya bermakna sebaliknya. Padahal, itu penegasan saja. Seperti orang Sunda mengimbuhi kalimatnya dengan akhiran “atuh”, orang makassar membuat ujung “ji”, atau orang Batak yang suka bilang “bah!”
Aku tidak yakin, di dusunku kini, imbuhan-imbuhan asyik semacam ini masih hidup di lisan penduduknya. Orang-orang sudah lupa keindahan diksi yang eksotis dan kaya warisan para pendahulu. Bahkan itu tidak bisa disebut kecenderungan Jawa semata, atau Jogja semata, atau gunung kidul semata. Sebab, banyak sekali diksidiksi yang benar-benar hanya hidup di dusunku, dulu. Tidak dipakai di dusun-dusun lain yang terpisah hutan di utara dan pesisir pantai di Selatan.
Samu merentangkan dua tangan. “Hyak Dik, nanti takjilan lagi.’’
Benar, bukan? Bagaimana menerangkan makna “Hyak Dik”? Aku bahkan ragu adakah penduduk dusunku pernah menulis impresi ini. Jadi, aku pun tidak yakin apakah aku menuliskannya dengan tepat. itu semacam padanan kata “asyik”. mungkin lebih tepat lagi “asyiiiiiiiik”.
Sebuah euforia kecil. Biasanya memang diucapkan anak-anak yang masih kecil-kecil.
Kuperkenalkan diriku dulu kepadamu. Pada akhir tahun 80-an itu, engkau akan menemukanku sebagai bocah ledhis, dekil jarang mandi, berambut keriting kemerahan, sekesat sabut kelapa. Agak tertolong oleh kulitku yang sedikit lebih terang dibanding anak-anak dusun kebanyakan. Tapi, yang membuatku istimewa adalah ibuku yang menjadi kepala sekolah satu-satunya Sd negeri di dusun itu.
Kurasa memang tidak ada hal yang menarik dari diriku kecuali itu. kalau orang-orang bilang aku pintar, kupikir itu pernyataan yang lebih disebabkan oleh ketidakenakan penduduk dusun kepada ibuku. Bahkan ada yang berbelit-belit menyebutku cerdas tapi tidak pintar, usai grup cerdas cermatku bahkan kalah pada lomba antar-rT.
Seingatku sewaktu kecil, aku tak memikirkan halhal semacam itu. Tapi engkau tahu, hidup di dusun itu unik sekali. ucapan ibu-Ibu di ujung dusun meluncur lebih cepat dibanding wabah kudisan ke ujung dusun lainnya. Jadi, ketika perempuan penunggu warung di Sd tempatku bersekolah datang ke rumah hanya untuk mengklarifikasi gosip pernyataan “cerdas tapi tidak pintar” kepada ibuku, aku merasa, orang-orang dewasa sudah mengacak-acak dunia kanak-kanakku.
Adapun Samu, aku tidak ingat peringkat berapa dia di kelas. Tapi, dia memang populer bukan karena angkaangka di rapornya. dia kakak kelasku. Beda satu tingkat saja. ingatanku tentang Samu sewaktu kecil sedikit terkonfirmasi pada karakter di sinetronsinetron anak di televisi, tentang idola kelas yang banyak temannya karena menyenangkan sosoknya.
Engkau harus membayangkan dirimu menjadi anak Sd untuk memahami apa yang aku bicarakan. Sebab, lucu tentu saja jika engkau berusaha mengerti isi kepala anak-anak Sd tanpa masuk ke dalamnya. Samu ini, suatu kali menjadi buah bibir di sekolah kami ketika seorang kawan sekolah kami kaku; begitu istilahnya, dan dalam ketidaksadarannya, murid perempuan itu menyebutnyebut nama Samu.