Aku Angin, Engkaulah Samudra

Mizan Publishing
Chapter #2

Kepompong 2: Aku Angin, Engkaulah Samudra

Gelap menangkupi rumah-rumah penduduk Pace, di sebelah timur dusun kami. Pedusunan ini terbagi dalam kelompok-kelompok rumah penduduk yang dinamai sesuai dengan hal identik di daerah tersebut. di kawasan Pace memang tumbuh ramai pohon pace yang konon bisa dijadikan obat, meski lebih sering bermanfaat untuk mencuci keris pusaka.

Di daerah inilah keluarga Samu tinggal sejak lama. Waktu aku kecil dulu, jarak rumahku ke Pace rasanya jauh sekali. kalau engkau hari ini ke sana, itu tidak ada apaapanya. menggunakan kendaraan bermotor, hanya butuh lima menit atau lebih sedikit. ketika itu, orang-orang dusunku terbiasa berjalan kaki ke mana-mana. Bahkan masih sangat jarang yang memiliki sepeda. Terlebih kendaraan bertenaga motor lainnya.

Sama dengan kawasan lainnya, Pace pun memiliki pola kekerabatan yang khas. Sebagian besar mereka yang bertetangga memang masih memiliki pertalian darah.

Beberapa keluarga memiliki kemiripan wajah satu sama lain. mereka juga punya kebiasaan serupa. di antara para pemuda, ada kebiasaan membawa kamli ketika keluar malam, sebagai pelindung tubuh yang kedinginan. Kamli itu selimut bergaris-garis yang mudah kau temukan di pasar-pasar pedesaan.

“Lama banget, mu!”

Samu keluar rumah juga akhirnya. Aku main-main dengan lampu senter. Sinarnya menyorot bulat berpindah-pindah sasaran. kuarahkan ke langit, dan tak lagi memantul ke bumi. gelap sudah sempurna. lampu-lampu minyak menyala di setiap rumah penduduk.

“Ndak bawa senter, mu?”

Samu menghampiriku.

“Dibawa Bapak, ru.”

“Yo wis. Ndak apa-apa.”

Kami lantas melangkah ribut di atas jalan berkerikil menuju kawasan Pule-Pule. Sepanjang jalan mulai senyap, sementara obrolan kami justru semakin menjadi. Cerita seru pascamenonton Advent Bangun beradu ilmu dengan Barry Prima dalam film layar tancap yang kami tonton di lapangan malam minggu sebelumnya.

Alam mulai terkesan seram dengan bayangan-bayangan pohon terlihat gelap bergoyang-goyang. Aku tak akan membohongimu, melewatkan sausana semacam itu, pada masa kecilku dulu, benar-benar memeras keberanianku. untung saja malam itu, kami punya sesuatu yang lebih menarik dibanding apa pun yang ada di muka bumi.

Melihat ABRI. kami menderap menuju Pule-Pule.

Pule-Pule adalah permukiman penduduk paling utara di dusun kami. kawasan tersebut merupakan pintu gerbang sekaligus lintasan mencolok yang menghubungkan dusun kami dengan rute panjang ke arah kota kecamatan.

Masih harus melewati kawasan hutan bernama So-dong sejauh enam kilometer sebelum sampai di kota kecamatan. Pule-Pule sering dilewati rombongan napak tilas berbagai perkumpulan. Paling kuingat sewaktu rombongan mbak Tutut anak Pak harto mampir di dusun kami. ratusan anak muda dari berbagai daerah seIndonesia. kirab remaja, nama acaranya.

Malam itu, berita cepat menyebar bahwa rombongan ABRI berjumlah ratusan bakal melintas di Pule-Pule. kesempatan langka bagi warga dusun untuk melihat dari dekat sosok prajurit berderap gagah, menyandang senjata dan bertopi baja. menjadi ABRI waktu itu adalah mimpi hebat setiap bocah di dusun kami.

Entah apanya. rasa bangga yang meluap-luap terhadap tampilan seorang prajurit membuat cita-cita hampir setiap bocah di dusun itu seragam. Begitu juga dengan Samu. kecuali aku yang ngotot ingin jadi insinyur. ketika itu, aku belum paham betul apa makna insinyur, dan apa yang akan kukerjakan setelah menjadi insinyur.

***

Lewat waktu isya ketika aku dan Samu sampai di Pule-Pule. Pertigaan jalan besar dengan aspal bagus itu sudah ramai dijejali orang-orang. mereka bergaya macam-macam, berjejer di pinggir jalan. Ada yang jongkok dengan sarung melintang, banyak juga yang berdiri berkacak pinggang, menunggu datangnya rombongan tamu agung itu. lampu teplok dan petromak diletakkan berjajar memberi penerangan.

Rasanya seluruh isi dusun tumplek blek di tempat itu. Bukan cuma anak-anak. Bapak-bapak sampai kakekkakek juga kelihatan. ibu-Ibu sampai nenek-nenek juga enggan ketinggalan. Sebagian dari mereka membawa bakul-bakul berisi makanan dan wedang dibungkus plastik.

Mereka bukan hendak berjualan. Segala makanan dan minuman itu khusus disiapkan untuk dibagi gratis kepada para prajurit yang segera akan lewat. Seperti suasana masa perjuangan saja. Warga dusun itu merasa tersanjung ketika prajurit loreng berjalan gagah melintasi kawasan tempat kami tinggal. itu sulit engkau temui di masa kini, atau sekadar engkau pahami dengan pikiran hari ini.

Malam itu, aku dan Samu segera mencari posisi. Supaya di antara begitu banyak orang, kami tak kehilangan kesempatan.

“Sini, Ru!’’

Samu menemukan posisi cukup aman. di sebelah pohon rindang persis di pinggir jalan. dia pikir, jika nanti orang-orang berebut salaman, bocah-bocah sebesar kami tentu saja tak akan kebagian. makanya, berdiri di dekat pohon menjadi pilihan. Aku yang sejak tadi cuma mengekor langkah Samu pun menurut. Aku segera berdiri sejajar dengan Samu dan menunggu perkembangan dengan dahi berkerut.

Beda dengan anak-anak seusiaku yang begitu bersemangat menyambut datangnya rombongan ABRI, aku bersikap biasa-biasa saja. Bahkan alasannya apa, waktu itu, aku juga tak tahu. kalaupun aku tetap datang ke Pule-Pule, alasannya sederhana, aku suka keramaian.

Setiap ada tontonan di dusun, aku tak pernah ketinggalan. Wayang kulit, ketoprak, resepsi pernikahan, sampai layar tancap di alun-alun dusun selalu jadi tempat seru untuk berkumpul dengan teman-teman sebayaku.

Termasuk malam itu, ketika aku keheranan oleh ekspresi kegembiraan orang-orang ketika sebentar lagi para prajurit berpakaian loreng itu tiba. Sebentar saja setelah aku selesai dengan pikiran-pikiran sederhana, suara berderap terdengar dari jauh. langkah kaki yang serempak dan nyanyian-nyanyian koor penuh semangat.

Orang-orang mulai ribut. Bersorak sorai dan bertepuk tangan. Tak terkecuali Samu yang kini melonjak-lonjak kegirangan. Sementara aku masih saja bengong dan menunggu apa yang akan terjadi. Sesaat kemudian, dari arah timur, rombongan ABRI berbaju loreng mengular. Jumlahnya sangat banyak. ratusan, mungkin ribuan.

Mereka berjalan tegap, berderap, penuh semangat. koor penuh gelora dilagukan tanpa jeda. Orang-orang semakin ribut. Begitu rombongan itu mendekat, mereka segera menghambur, membagikan makanan, minuman, atau sekadar bersalaman. Sikap cinta itu disambut ekspresi semringah para tentara.

Meski cuma sekilas, tanpa menghentikan langkah mereka, para prajurit itu mempertontonkan rasa sukacita mereka. Semua mengambil ransum makanan dan minuman dari bakul-bakul yang disodorkan, menyambut uluran tangan penduduk yang ingin bersalaman.

Lihat selengkapnya