Jogja awal 90-an: Good Bye oleh Air Suply merajai tangga lagu mancanegara, Maribeth menyanyi Denpasar Moon, pasangan Yoko dan Bibi Lung menjadi idola di mana-mana.
Mengingat apa yang engkau alami lebih dari setengah umurmu, dulu, adalah urusan yang tidak akan memudahmu. lebih-lebih jika engkau harus mengira-ngira, apa yang engkau pikirkan ketika itu. Engkau rasakan pada hari-hari itu.
Namun, mengenai masa remajaku, sedikit-sedikit aku masih bisa menggambarkannya, jika itu menolong keingintahuanmu. mengira-ngira, tak peduli seberapa menderitanya.
Ketika meninggalkan gunung kidul dan mencoba hari-hari di kota, aku merasa sepi dalam keramaian. Selalu berada di antara banyak manusia, sedangkan batinku seperti tak mendengarkan suara. itu meKyebalkan, kau tahu?
Hal yang paling mengesalkan dibanding apa pun adalah ketidakadaan Samu setelah sebelumnya aku merasa baik-baik saja jika tengah berada di sekitarnya. Sahabat kecilku itu menyelesaikan banyak masalah.
Dua bulan setelah aku genap 13 tahun, aku mulai menjalani hari-hari terburuk sepanjang hidupku. ketika aku berdiri kikuk di depan empat puluh siswa putih biru SMP negeri pinggiran kota. Celetukan-celetukan yang mengejek, juga kesinisan yang semakin hari semakin menjadi.
“Masuk sini nyogok, ya?’’
Aku yang percaya neraka itu ada, hari itu, merasa sedang mencicipi sedikit panasnya. “Cukup … cukup. Bercandanya ndak boleh keterlaluan,’’ suara Bapak Wali kelas yang sisiran rambutnya mengingatkanmu pada masa kejayaan harmoko. Terbukti beliau ini lebih berhasil mengatur belahan rambutnya dibanding merapikan kelakuan anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya.
“Coba kamu cerita.” Wali kelas sekarang berbicara kepadaku.” Bagaimana bisa pindah dari gunung kidul ke Jogja?’’
“Eh … say … saya ikut Ibu pulang kampung, Pak.’’
Kelas heboh lagi. Cekikikan buat kesekian kali. memang tidak mungkin kubilang pulang kota, bukan?
“Ibu saya asli Jogja. Tapi beliau lama tugas mengajar di gunung kidul. Sekarang Ibu saya sudah pensiun, dan pulang ke Jogja.’’
Ramai lagi.
Jika engkau tak biasa berbicara di depan orang-orang, sedangkan suatu waktu engkau harus ada di posisi itu dan orang-orang lebih suka menertawakanmu, alih-alih menyimak setiap kalimatmu, itu akan membuatmu frustrasi. Sesi itu terasa sangat lama. Aku merasa terancam pada setiap detiknya.
“Kamu boleh duduk, Maruto.”
Akhirnya perkenalan sudah dianggap cukup, sewaktu Wali kelas menunjuk tempat duduk paling belakang agar aku menuju ke sana, dadaku benar-benar lega.
“Di samping Johan. nomor dua dari belakang,’’ sambung Wali kelas.
Menuju bangku paling belakang di kelas itu hanya selemparan batu saja jaraknya, tapi terasa selamanya. Semua mata menatapmu, ingin tahu atau sekadar menganggapmu tak semestinya berada di situ. Tentu saja kalau aku berpikir dengan isi kepalaku hari ini, ketika engkau membaca kisahku ini, perasaan semacam itu lebih dikarenakan mentalku semata. Tak sepenuhnya berurusan dengan reaksi orang-orang.
“Sejodohlah.” murid perempuan, suaranya lantang. “Anak gunung sama si Tompel.’’
Tawa lagi, tak terkendali. Wali kelas yang juga guru sejarah mengetuk-ketuk meja agak keras dan berharap suaranya lebih kedengaran.
Aku segera menautkan teriakan seisi kelas itu, tawa mereka yang menusuk telingaku, dengan seseorang yang segera menjadi teman sebangkuku.
“Saya maru.’’
Dia menyambut tanganku, sedangkan tatapannya menyapu pandanganku tak sampai sekedipan mata. dia menunduk kemudian. “Johan.’’
Murid seperti Johan ini pernah ada dalam hidupmu, atau malah dirimu sendiri. Anak-anak “Dunia ketiga”. mereka dipinggirkan oleh lingkungan pergaulan. Ada, sekadar pelengkap, kadang difungsikan sebagai objek cemoohan. Johan berambut keriting, kulit gelap, dan tahi lalat besar di bawah mata kanannya.
Itu alasan mengapa teman-teman sekelasnya memanggil Johan “si Tompel”. karena ini bukan panggung komedi televisi, panggilan itu tidak bisa dikomersialkan, dan lebih terasa sebagai pelecehan besar-besaran.
Napasku sedikit sesak. Sementara Wali kelas mulai berkata ini itu, menyuruh seisi kelas membuka-buka buku pelajaran, aku berjuang melawan kerinduan. Aku pengin pulang.
Kamu lagi apa, Samu? kota Jogja terasa terlalu rumit, bahkan sekadar urusan menyeberang jalan. Aku tahu, jika Johan sepanjang tahun akan menyandang gelar “si Tompel” aku harus siap-siap, bisa jadi teman-teman sekelas nan buas akan menjulukiku dengan nama yang tidak lebih baik.
***
Belakangan, sewaktu engkau membaca kisahku ini, aku berpikir, jika ada orang yang mengenalku dan berkata aku pribadi yang intimidatif, keras kepala, sedikit paranoid, boleh jadi semuanya bermula ketika masa SMP ini.
Aku butuh sebuah sistem pertahanan diri ketika itu. ketika kebanyakan teman di kelasku berpikir keberadaanku adalah sebuah kesalahan dan di masa depan aku tak akan pernah menjadi siapa-siapa.
Aku ingat benar, suatu siang, pada tengah pelajaran, akhirnya teman-teman sekelasku menemukan julukan paling memuaskan hati mereka. Pelajaran bahasa Inggris yang awalnya menyenangkan. Siapa pun gurunya, aku selalu menyenangi pelajaran ini.
“Highland itu artinya dataran tinggi. Jadi, Highlander, film yang di TV itu artinya, manusia dari dataran tinggi.’’
Sang guru bernama damar, juga kepala sekolah, jika ingatanku tak salah.
“Maru, dong! kan, dia datang dari dataran tinggi gunung kidul!’’
Aku mengutuk pemilik suara itu. menghujat dalam hati, tanpa mampu menghalang-halangi mereka yang tertawa sesuka hati.
Rupanya, mereka menemukan musuh bersama. Bahkan Johan! Si Tompel itu dengan sengaja mengeraskan tawanya, merasa ini hari merdeka. Barangkali hatinya banyak bersyukur karena tak cuma dirinya sekarang yang menjadi objek penderitaan.
“Cuekin,’’ kata teman di seberang bangku. Andi namanya. dia menyadari pertumbuhan usianya jauh melampaui pemahamanku, meski kami berusia hampir sama. dia mewangikan badannya, membuat kaku rambutnya sedemikian rupa, ketika aku belum mengerti sama sekali apa itu pubertas.
Kupikir semua murid di sekolah ini tahu Andi. dia ikut banyak les dan paling bisa mengerjakan soal bahasa Inggris. Beda denganku yang sekadar suka saja. Bicara dan mengerjakan soal memakai intuisi semata.
“Main ke rumahku, Ru?’’
Bel ganti mata pelajaran terdengar kencang, sebelum Andi mengajakku berbincang sambil membereskan meja dari buku-bukunya.
“Kapan?”
“Beres sekolah.”
Itu sesuatu yang tidak terbayangkan. duniaku, berbulan-bulan ini adalah menyetop damri di pagi hari, meluncur setengah jam ke barat pusat kota Jogja, masuk sekolah yang tidak pernah kucintai. Pulang lagi pada siang hari, sambil kebingungan, di rumah, apa lagi yang mau kulakukan? Aku sama sekali tidak punya kenalan seusia di perkampungan tua di tengah kota Jogja, yang sejarahnya membentang lama: Kauman.
Andi menawariku sebuah petualangan.
“Siapa aja?’’
Andi membuka tas, memasukkan buku-buku. “Dukhan, Okta, Triyo, sama Bayu.’’
“Nggak apa-apa aku ikut?’’
“Aneh kamu.’’ Andi mengelus rambut kakunya, model yang membuatmu bernostalgia dengan karakter-karakter buku pelajaran Sd tahun 80-an. kakak beradik Budi, ima, Arman, Wati, iwan. Seingatku, rambut tokoh anak laki-laki mirip dengan sisiran rambut Andi.
***
Astaga. Jika aku mengingat kunjunganku ke Wates, ke tempat tinggal Andi, rumah besarnya yang membuatku merasa sangat kecil, malu hati jadinya. keminderanku, dulu, sampai ke tingkat yang sangat parah. Aku tidak siap untuk menghadapi kenyataan, tidak semua orang hidup susah sepertiku. Juga, tidak semua orang yang “tidak susah” itu mentalnya menjulang dan tidak ramah.
Aku tidak siap untuk itu.
Belakangan, pada hari-hari dewasaku sekarang, aku merasa keminderan yang menyebalkan itu berkaitan dengan masa kecilku, sewaktu di kampung dulu. Selain bahwa aku punya masa kecil yang amat menyenangkan di kampungku bertumbuh, ada masa-masa terintimidasi yang menyedihkan setiap keluarga besar bapakku berkumpul di tempat nenek.
Aku, juga saudara-saudara kandungku teramat terintimidasi dengan kenyataan bahwa kami tak punya apaapa secara materi. Engkau tahu, pada pemahaman yang salah, hari-hari berkumpul dalam keluarga besar adalah masa saling memamerkan segala sesuatu.
Ibuku guru, kebanggaanku hanya itu. Sedangkan saudara-saudara bapakku, berdatangan dari kota membawa bukti-bukti kesuksesan hidup mereka. Barangkali mereka pun tidak meniatkan untuk itu. meski aku memang merasakan diskriminasi itu, intimidasi hanya ada dalam otak kanak-kanakku semata.
Namun, aku tidak boleh berbohong, pada masamasa SMP, mental yang kerdil itu kait-mengait dengan hal yang kukatakan kepadamu tadi. membuatku tidak percaya kepada orang kaya. Tidak percaya dalam pengertian paranoid, dekotomis, memusuhi yang asalnya, sebenarnya, hanya karena rendah diri saja.
Rumah keluarga Andi yang bapaknya dosen ugm itu, sangat mengejutkan bagiku yang seumur-umur tinggal di rumah kontrakan. Terlalu besar, terlalu mengerikan, terlalu membuat kepalaku menunduk. Aku bahkan memilih kabur ketika Ibu Andi menyuruh kami makan siang. Aku bahkan tidak bisa mengerti, mengapa reaksiku demikian? dipersilakan ke meja makan, dan memang itu waktunya makan siang, tapi memilih lari ke halaman dan menolak ajakan tuan rumah yang menyenangkan.
Pada akhirnya, Andi berhasil menyeretku ke meja makan. dia tidak perlu pula menjejalkan nasi ke mulutku. Bersama-sama teman yang lain, aku mau juga makan, pelan-pelan. masih tidak terurai di kepalaku, pada masa kini, mengapa aku menolak untuk makan ketika itu. mungkin, itu semacam ekspresi antikemapanan, penolakan terhadap kenyamanan, atau sikap yang sedikit sosialis; membenci kaum borjuis.
Entahlah.