Tik... tik... tik... tik....
Semua mata tertuju pada gerakan jarum tipis yang berputar melingkar di sebuah jam dinding. Detik-detik menanti waktu pulang kerja entah mengapa selalu mendebarkan. Raungan karyawan yang ingin cepat pulang terasa sangat mengoyakkan telinga. Aku tahu, banyak dari mereka yang sudah berkeluarga hingga detik demi detik waktu di rumah begitu berharga. Atau banyak juga yang rumahnya jauh sehingga tak boleh membuang waktu di perjalanan. Mungkin juga ada yang sudah dijemput di depan pabrik dan tak ingin membuat penjemputnya menunggu terlalu lama. Namun yang pasti, tak ada satu pun di antara alasan itu yang membuatku harus terburu-buru.
Pintu depan dibuka saat jam sudah tepat menunjuk di angka lima. Seluruh karyawan berbaris dengan riuh, berdesakan menuju meja satpam untuk melakukan pemeriksaan keamanan. Seorang satpam wanita menggeledah tubuh dan tas kami, mencegah adanya inventaris pabrik yang terbawa atau sengaja dicuri. Karena sudah kenal dan terbiasa pada karyawan senior, sebagian besar pemeriksaan hanya formalitas saja. Berbeda dengan karyawan baru yang tampak tegang, karyawan senior malah bersenda gurau dengan satpam yang sudah menjadi teman.
“Nuri dapat salam dari Zain,” ucap Mbak Susi, satpam wanita yang dijuluki Mak Lampir, menggodaku sambil melirik sekilas isi tasku.
Kucubit lengan wanita bertubuh kekar itu. “Nggak percaya!” jawabku balik menggodanya. Segera kututup tasku dan bergegas menuju pintu keluar. Sengaja kupelankan langkah, menanti Yati, sahabatku yang berbaris di balik tubuhku.
“Yuk!” ajak Yati sambil menggandeng lenganku dari belakang. Kami berjalan beriringan sambil merencanakan merek sepatu yang akan kami beli nanti. Sejak pagi, Yati sudah mengingatkanku agar menemaninya berbelanja sepulang kerja. Seharian ia terus menerus menggerutu tentang sepatunya yang mengelupas dan haknya hampir patah.