“Nuri, apa kamu nggak terlalu galak sama cowok tadi?” tanya Yati hati-hati saat kami sudah duduk bersebelahan di kursi belakang angkot.
“Biarin aja. Siapa suruh jemput aku terus. Toh aku nggak pernah mau juga naik motor sama dia,” gerutuku sebal. Yati menggeleng-gelengkan kepala.
“Tapi kamu jangan galak gitu. Dia, kan, sudah menunjukkan kesetiaannya, setiap hari jemput kamu walau kamu nggak pernah mau. Sepertinya dia orang yang pantang menyerah.”
Giliran aku yang menggelengkan kepala. “Dia cuma iseng aja, sama kayak yang lain,” ucapku yakin.
“Yah, kita lihat aja, sampai kapan dia mau jemput kamu. Dan sampai kapan kamu mau nolak dia.”
Aku tak mengerti mengapa Yati jadi mendukung dia. “Jadi kamu maunya aku pulang bareng dia, nih? Terus nanti kamu pulang sendirian dong?” tanyaku menggodanya.
“Ya, nggak gitu juga sih,” sahut Yati sambil mengusap tengkuknya, salah tingkah. “Maksud aku, kamu jangan terlalu sering nolak cowok. Bisa jadi dia jodoh kamu.”
Menyadari bahwa Yati hanya mencoba memperingatkanku membuatku tersentak. Mungkin, ia tak mau kejadian yang menimpanya terjadi padaku. Dulu, ia selalu menolak laki-laki yang datang ke rumahnya untuk melamar karena tak sesuai dengan kriterianya. Kini, di usianya yang menginjak tiga puluh tiga tahun, ia masih melajang juga. Teman seusianya mayoritas sudah menikah dan memiliki anak. Walau begitu, beda umur yang terpaut tiga belas tahun denganku tak menghalangi persahabatan kami, yang telah terjalin sejak hari pertama masuk kerja. Atas permintaannya, aku harus memanggil namanya saja dan memperlakukannya seolah kami sebaya.