Hari libur di tempat kerja tak berarti aku libur juga di rumah. Sedari pagi aku sudah berkutat dengan pekerjaan rumah tangga. Menyapu, mengepel, kemudian beralih ke dapur mencuci piring dan peralatan masak yang digunakan Mama. Setelah itu kegiatanku berlanjut dengan menyiram tanaman dan mencuci baju. Selesai menjemur, Mama menyuruhku membuatkan kopi untuk Bapak.
“Nduk, sini duduk dulu samping Bapak,” panggil Bapak yang sedang duduk di dipan bambu teras rumah. Aku urung beranjak setelah meletakkan mug kopi di meja bundar sebelahnya. Aku menurut.
“Ada apa, Pak?” tanyaku curiga. Biasanya ada suatu hal penting jika Bapak menyempatkan berbicara berdua seperti ini.
Bapak menghela napas panjang sebelum berbicara. Di jarinya terjepit sebatang rokok yang setengahnya habis terbakar, menumpahkan abu pada lantai semen di bawahnya. Sepertinya sejak tadi Bapak hanya menyalakan benda itu tanpa mengisapnya. Pandangan Bapak lurus ke atas, jauh menembus awan putih yang menutupi langit.
“Kamu kenal Adi?”
Aku tersentak. Padahal aku sudah bersiap mendengar penjelasan panjang, tetapi yang disebut malah laki-laki itu.
“Iya, tahu. Dia suka gangguin Nuri, Pak. Suka jemput Nuri padahal Nuri nggak mau. Tadinya Nuri mau bilang ke Bapak supaya Bapak bilang ke dia jangan jemput Nuri lagi,” cerocosku panjang lebar. Puas rasanya sudah mengadukannya pada Bapak.
Sesaat Bapak diam, seperti menimbang kalimat yang akan ia katakan padaku kemudian.
“Kemarin waktu kamu belum pulang kerja, dia ke sini. Katanya mau melamar kamu,” ucap Bapak yang terdengar seperti halilintar di telingaku.
“Hah?” sahutku tak sadar. “Terus, Bapak bilang apa?”
“Yo, Bapak bilang tanya kamu dulu.”
“Nggak mau!” spontan aku menjawab. Rasa kesal memuncak di kepalaku. Mana mungkin aku mau menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal.
“Mbok yo dipikir dulu. Ndak baik nolak jodoh,” ucap Bapak tenang. Ia mengisap kembali rokoknya yang sudah semakin kecil. Saat menyadari nyala api semakin dekat ke jarinya, ia melempar puntung rokok itu keluar.
Aku tak habis pikir. Memang Bapak mau punya menantu seperti Adi? Kenapa, sih, Bapak tak langsung menolaknya saja. Bahkan barusan, sudah jelas-jelas aku menolak, Bapak masih saja menyuruhku berpikir. Tak ada yang perlu dipikirkan. Sudah jelas jawabannya: Tidak!
“Nuri nggak mau! Bapak bilang aja sama dia, Nuri nggak mau nikah sama dia,” pekikku sambil berdiri. Bapak terperangah melihat sikapku. Baru kali ini aku tak menurut padanya.