Aku atau Adikmu?

Yuanita Fransiska
Chapter #4

Bab 4: Gosip

Desau angin menyapu rambutku saat aku sedang memakai sepatu di depan rumah. Dedaunan di atas pohon bergoyang pelan, menikmati semilir angin yang membelai manja. Pagi yang sejuk berangin menyapa hari yang terbangun dengan lambat, membuat diri ingin lebih lama berbaring di ranjang empuk nan hangat. Namun, hidup tak mengizinkanku bermalas-malasan di hari kerja yang sibuk ini.

Yati sudah menungguku di depan gang menuju jalan raya, seperti biasa. Wajahnya terlihat lebih cerah, secerah lipstik merah menyala yang ia pulaskan di bibir tebalnya. Kami segera menyebrang jalan raya dan naik angkot menuju tempat kami mengais rejeki. Di perjalanan, kami mendapat sapaan hangat dari beberapa pria yang juga naik angkot hendak berangkat kerja. Yati membalas sapaan mereka dengan senyum manis yang mempesona, sedangkan aku masih sibuk mengunyah roti yang dibawakan Mama karena tak sempat sarapan.

Kami memasuki gerbang yang penuh sesak oleh ratusan karyawan, berkerumun sambil berjalan menuju bagian dalam pabrik. Kami saling bertegur sapa pada beberapa karyawan yang kami kenal, seolah sudah berapa bulan kami tak bertemu, padahal hanya libur satu hari kemarin. Gelak canda dan tawa mengiringi setiap langkah kami yang berjalan beriringan, hingga kami sampai ke tempat pemeriksaan. Aku tercengang saat melihat Mbak Susi yang bertugas jaga pagi ini. Memasang telinga, aku bersiap mendengar ocehannya. Entah kenapa dia sering kali menjadikan aku target candaannya.

“Neng Nuri, kata Abang Zain udah sarapan belum?” Mbak Susi mulai menggodaku sambil mengedipkan sebelah mata. Entah bagaimana gosip tentang Bang Zain yang mendekatiku sudah menyebar luas hingga seluruh karyawan sepertinya tahu. Dulu aku selalu merasa jengah jika digodakan seperti ini. Tapi lama kelamaan, telingaku tebal juga.

Baru akan menjawab, Yati sudah mendahuluiku. “Mbak Susi, jangan godain Nuri sama Zain lagi, Nuri udah mau dilamar!”

Gerakan tanganku membekap mulut Yati kalah gesit dari kecepatan suaranya. Mbak Susi membuka mulutnya lebar, seolah baru saja menelan gosip terhangat yang sebesar bakso raksasa. Aku buru-buru mengklarifikasi, sambil melepaskan tanganku yang lengket bercetak bibir merah Yati.

“Bohong, Mbak! Jangan percaya!” pekikku sambil menarik lengan Yati agar segera meninggalkan Mbak Susi yang masih terperangah.

“Wah, Zain bisa patah hati nih,” goda Mbak Susi sambil menaik-turunkan sebelah alisnya dan tersenyum jahil. 

Aku tak menghiraukan kata-kata Mbak Susi. Segera kuseret Yati menuju ruang loker tempat penyimpanan tas.

“Yati, kok, kamu bilang gitu, sih, ke Mbak Susi? Kamu, kan, tahu kalau dia itu biang gosip!” gerutuku kesal sambil melepaskan tanganku dari lengan Yati. 

“Loh, itu, kan, kenyataan. Bukan gosip,” sahut Yati tak merasa bersalah.

Aku melotot, tak mengira sahabatku akan sesantai itu. Bukannya minta maaf, ia malah membela diri. “Tapi itu, kan, rahasia! Dan belum tentu juga akan benar-benar terjadi,” kataku dengan nada tinggi.

“Nuri, tenang aja. Lagian kalau Mbak Susi bilang ke orang-orang terus kenapa? Malah bagus, kan? Jadi nggak banyak lagi yang godain kamu. Bukannya kamu nggak suka digodain cowok?” ucap Yati sambil memegang pundakku. 

Aku mendengus. “Ya ... tapi nggak gitu caranya!” Kuhempas tangan Yati yang terasa berat di bahu, seolah mengintimidasiku. “Udah, ah, kamu nggak ngerti!” ujarku meninggalkannya menuju lokerku. Kubuka kuncinya dan kumasukkan tasku, kemudian pergi meninggalkan temanku itu ke ruang ganti untuk memakai penutup kepala, masker, dan apron.

Aku berjalan cepat menuju wastafel untuk mencuci tangan dan mengeringkannya, kemudian memakai sarung tangan yang sudah disediakan. Aku sengaja meninggalkan Yati dan menghindarinya, masih kesal dengan ulahnya pagi ini. Padahal, biasanya kami selalu bersama melakukan persiapan, sambil bersenda gurau tentunya. Setelah persiapan selesai, aku ikut berkumpul bersama teman-teman dari bagianku untuk ikut pengarahan pagi.

Pengarahan kali ini lebih terdengar seperti formalitas yang diisi lebih banyak kelakar daripada instruksi. Aku tak terlalu memperhatikan apa yang diucapkan pengawas harianku. Lagi pula, pekerjaanku sebenarnya mudah, menyortir biskuit yang turun dari oven dan memisahkan kalau ada biskuit yang gosong atau tidak bagus. Namun, jika sedikit saja lengah, biskuit yang tidak bagus pasti akan turun ke bagian pengepakan dan mereka akan komplain. Kalau sudah begitu, terkaman kemarahan pengawas di depan semua orang akan membuat harga diri runtuh dan surat peringatan siap-siap diterima.

Lihat selengkapnya