“Nuri! Kamu beneran mau dilamar?” semprot Bang Zain tanpa tedeng aling-aling.
“Zain! Baru datang teriak begitu! Bikin kaget aja!” pekik Tati sambil melotot. Aku yang menjadi target keributan ini sedang sibuk menutupi mulutku dengan tisu dan memuntahkan bakso yang sudah terlanjur tercabik gigi gerahamku. Tak sempat aku menelan gumpalan besar daging bercampur tepung itu.
Bang Zain mengacuhkan teriakan Tati dan menggebrak meja. “Aku nggak habis pikir sama kamu, Nuri. Aku kan pernah bilang, mau serius sama kamu! Aku yang mau melamar kamu. Tapi kamu tau, kan? Kakak perempuanku satu-satunya belum menikah. Orangtuaku nggak akan membiarkanku melangkahinya! Pamali!”
Aku hanya diam mematung, tak percaya dengan sikap Bang Zain yang biasanya ramah itu kini seperti orang kesurupan.
“Abang kenapa marah-marah? Coba tanya Yati, dia yang nyebarin gosip itu!” sahutku saat sudah bisa mengendalikan kekagetanku.
Yati terlihat gelagapan. Ia berpura-pura menyedot es teh manis di depannya dengan berisik. Bang Zain langsung menolehkan kepala ke arahnya.
“Maksudnya apa?” tanyanya tajam pada Yati yang kini sedang mengelap mulutnya dengan tisu.
“Ya. Aku nggak sengaja bilang ke Mbak Susi kalau Nuri mau dilamar,” Yati menggigit bibir bawahnya yang merah merekah, “Tapi, kan, memang sudah ada yang mau melamar Nuri!”
Aku melotot. Penjelasan Yati benar-benar tak sesuai dengan permintaan maafnya.
“Oh, jadi benar rupanya. Siapa dia?” tanya Bang Zain yang kini menatapku. “Jangan bohong, ya, Nuri. Aku harus tau.”
Seketika aku bergidik ngeri. Bang Zain yang ramah dan punya banyak teman di pabrik ini bisa saja menggerakkan massa untuk menghabisi Adi jika aku jujur. Namun kalau aku tak jujur, tentu imbasnya akan lebih parah.
Aku menghela napas panjang, mencoba menetralkan suasana hatiku yang campur aduk tak karuan. “Bang Zain, memang sudah ada yang mau melamarku. Tapi itu hanya sebatas obrolan biasa dengan Bapak. Aku juga belum menjawab iya atau tidak. Jadi tak perlu diributkan, karena belum ada kepastian,” ujarku lembut.
Tati menyela, “Tuh, makanya dengerin dulu, Zain, jangan main gebrak meja aja!”
Bang Zain menaikkan sebelah alis, “Kalau Bapak kamu maksa untuk nikahin kamu? Gimana?”
Aku terdiam sejenak. “Ya, mungkin aku akan menurut,” jawabku sekenanya.
Bang Zain menggebrak meja untuk kedua kalinya, “Lalu aku bagaimana?”
Aku menelan ludah. Rupanya jawabanku tadi tak menyenangkannya.
“Bang Zain sendiri, apa mau melanggar perintah orang tua Abang? Apa mau langsung melamar aku tanpa persetujuan orang tua Abang? Tentu tidak, kan? Aku juga sama. Ingin menuruti orangtuaku. Apa itu salah?”
“Yang salah itu Bapak kamu. Masa mau menikahkan tanpa persetujuan anaknya? Memangnya ini zaman Siti Nurbaya?” bentaknya tak mau kalah.
Darahku mendidih mendengar Bapak disalahkan. Memangnya siapa dia, berani mengatakan hal buruk tentang orangtuaku? Belum menikah saja dia sudah tidak hormat pada orangtuaku, bagaimana jika sudah menikah nanti?
“Yati, pulang, yuk,” ajakku sambil menyambar tas dan berdiri, “Tati mau pulang juga nggak?”
Yati dan Tati saling pandang, seolah berkomunikasi lewat mata. Aku tak bisa menunggu lama.
“Mau kemana kamu? Kita, kan, belum selesai?” Bang Zain berdiri menahanku.