“Nuri, kamu siap-siap, besok Adi dan keluarganya mau datang melamar kamu,” ujar Bapak yang sedang duduk di kursi kebesarannya dengan nada santai saat aku sedang melepas sepatu di teras rumah.
Otakku yang sedang dalam kondisi lelah setelah perjalanan jauh dari pusat perbelanjaan yang baru dibuka mendadak terpicu mendengar ucapan Bapak. “Hah? Kok, mendadak gini sih, Pak?” protesku keras.
“Adi baru bilang tiga hari lalu. Kamu pulang malam terus, Bapak ndak sempat ngomong sama kamu. Memang kamu kemana saja? Pulang malam berangkat pagi ndak pamit sama orangtua!” nada suara Bapak meninggi.
Aku menimbang apakah harus menjawab pertanyaan Bapak atau tidak. Kalau Bapak tahu aku pergi ke pusat kota hanya untuk berbelanja hingga pulang malam, ia bisa semakin murka! Apalagi semenjak kejadian aku digoda preman tempo hari. Ah, tapi aku tak boleh teralihkan. Masalah utamanya adalah besok Adi dan keluarganya mau melamarku! Besok? Kenapa harus besok?
“Kenapa Bapak nggak tanya aku dulu, sih? Kalau aku nggak mau dilamar sama Adi gimana?” pekikku menyalahkan Bapak. Dalam hati aku merasa ironi. Dua minggu lalu aku membela Bapak di depan Bang Zain, tetapi sekarang malah aku yang melawannya.
Ucapanku ternyata menyulut kemarahan Bapak. Ia langsung berdiri sambil melotot.
“Loh, waktu itu kan kamu bilang terserah!” teriak Bapak tak mau kalah. “Jangan bilang kamu ndak mau. Waktu itu kamu bilang terserah Bapak aja. Yo Bapak terima lamarannya. Kalau sekarang kamu nolak dan bikin malu Bapak, Bapak ndak akui kamu sebagai anak!”
Aku terasa seperti tertimpa seribu ton batu berat yang langsung memendam tubuhku ke bumi. Sesak dan hancur. Baru kali ini Bapak mengucapkan kata-kata yang sungguh menyakitkan seperti ini. Tak terasa air mataku menetes. Bapak membuang muka, kemudian pergi melewatiku dan keluar dari teras, meninggalkanku yang masih duduk mematung sambil terisak.
Mendadak pintu rumah dibuka dengan keras. Mama tergopoh-gopoh berlari mendatangiku. “Ono opo?” tanyanya sambil mengguncang pundakku. “Diganggu preman lagi?”
“Mama! Kok, nggak bilang besok aku dilamar?” tanyaku dengan suara serak.
Mama mengernyit, “Loh, memang Bapakmu belum bilang?”
Aku menggeleng tak menjawab. Mama mengusap pundakku dengan tangannya yang berlumuran tepung. “Ayo, masuk dulu.”
Sambil terisak, aku melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Kulirik jam dinding dan jarum pendeknya menunjuk angka sepuluh. Mama membimbingku ke dapur, melompati kaki Anto yang tidur telentang di ruang tengah. Di sebelahnya kaki Ali mendarat di wajah Dudi yang tidur tersudut ke tembok. Kepala Ali masuk ke kolong meja yang terletak di bawah jendela. Dalam hati aku merasa miris melihat adikku tidur berdesakkan di ruangan sempit ini.
“Kamu kenapa nangis di depan rumah begitu? Malu kalau didengar tetangga,” ujar Mama lembut saat kami tiba di dapur. Aku duduk di undakan yang memisahkan ubin ruang tengah dan dapur yang beralas tanah. Mama menyodorkan segelas air putih. Tanpa berpikir langsung kuteguk cairan bening itu. Seketika perasaanku sedikit tenang, setenang air yang mengalir lembut di kerongkonganku.