Aku atau Adikmu?

Yuanita Fransiska
Chapter #7

Bab 7: Prasangka

“Ayo, kita pulang! Jangan bengong terus tho, Nduk,” ucap Mama sambil menepuk pundakku. Saat tersadar, aku mendapati diriku sedang berdiri di depan tukang bumbu di pasar.

Sejak bangun dari tidur tadi pagi entah mengapa aku tak dapat memfokuskan pikiran. Aku seolah menjadi vampir yang hanya memiliki tubuh namun tak memiliki jiwa. Hanya ingatan samar yang tampak terlintas dari balik alam bawah sadarku, saat Mama membangunkanku bersamaan dengan adzan Subuh yang berkumandang dengan lantang, mengoyak kesunyian malam. Setelahnya, aku berjalan mengikuti Mama dan semua kata-katanya tanpa sedikit pun membuka mulut. Hanya “he-eh” dan “iya”, dua kata yang terlontar dariku tanpa serius memperhatikan pertanyaan Mama.

Pikiranku kembali terhubung dengan otakku saat perjalanan pulang ke rumah. Dua keranjang penuh bahan makanan beserta beberapa kantong plastik yang disangkutkan di tangan mampu mengembalikan kesadaranku. Mungkin aku butuh sedikit pengalihan untuk menghadapi hari ini, agar kewarasanku bisa terus terjaga. Aku turut terjun ke dapur walau Mama melarangku dengan keras. Aku tak tega juga membiarkannya masak sendiri hidangan yang banyak ini. Bukan Mama namanya jika tak menyediakan banyak makanan saat ada acara. Dan bukan aku jika tidak membantu Mama.

Setelah matahari mulai beranjak naik, Bude Narti dan Bude Murti datang untuk membantu Mama memasak. Mereka juga heran karena baru kemarin mendapat berita aku akan dilamar. Mereka memberi selamat padaku dan menyemangatiku. Aku hanya tersenyum masam, terutama saat menyadari bahwa keluargaku lebih dulu mengetahui tentang lamaran ini dibanding aku. Memangnya siapa yang mau dilamar?

“Nuri, sana mandi, siap-siap. Dandan yang cantik. Masa calon manten masih di dapur?” perintah Bude Narti sambil mengambil pisau dan wortel yang ada di tanganku.

“Iya. Biar Bude yang terusin,” timpal Bude Murti dengan suara beratnya.

“Nggak apa-apa, Bude. Tanggung,” jawabku asal. Aku lebih malas menunggu tanpa aktifitas daripada melarutkan diri dalam kesibukan. 

“Heh, ndak boleh calon manten masih dekil begini. Nanti apa kata calon suamimu? Matamu jadi bengkak begitu kena asap!” omel Bude Murti sambil mengamati wajahku. 

Aku menunduk, menyembunyikan wajahku dari mata ingin tahu Bude Murti. Untunglah dia mengira mataku kena asap. Kalau sampai dia tahu aku menangis semalaman, ceramah yang dilontarkan bisa lebih panjang lebar. Bude Murti dan Bude Narti adalah pasangan yang saling melengkapi dalam hal menyindir dan menasehati. Daripada omelan terus berlanjut, aku terpaksa mengangguk walau enggan. Dengan gontai aku mengambil handuk kemudian berlama-lama di kamar mandi.

Suara Bude Narti dan Bude Murti terdengar bergantian menceramahi Mama. Telingaku panas mendengar obrolan mereka. 

“Iya, kamu terlalu sibuk dagang, sampai tak tahu anakmu sudah hamil sebelum menikah!” terdengar suara berat Bude Murti menimpali kata-kata Bude Narti sebelumnya yang tak terlalu jelas kudengar.

“Sopo sing wis hamil?” pekik Mama. Jarang sekali aku mendengar Mama berteriak.

(Siapa yang sudah hamil?)

Lihat selengkapnya