Aku duduk setengah tersadar di kursi jati yang sengaja dipasang di depan teras rumahku. Di sebelahku, Adi yang kini sudah berstatus sebagai suamiku, sedang berbicara dengan Bang Tio. Bibirku terasa kelu, menampilkan senyum palsu yang menyembunyikan berbagai rasa terpendam dalam sanubariku. Jantung ini masih juga berdetak dengan cepat, bahkan setelah akad nikah yang penuh emosi berlangsung. Mungkin, tubuhku ingin mengingatkanku bahwa perjalanan yang akan kulalui kelak lebih panjang, bukan hanya berhenti sampai ijab kabul dilaksanakan.
“Nuri, minum dulu,” ujar suara berat di sebelahku. Tangannya menyodorkan segelas air putih di depan wajahku.
“Terima kasih,” jawabku menerima gelas tanpa menolehkan wajah.
Kecanggungan masih mengokohkan tembok tak kasat mata yang terbangun di antara kami. Entah aku yang terlalu menutup diri atau dia yang juga tak kunjung membuka mulut, menjadikan komunikasi dua arah yang solid diantara kami sulit terbentuk. Sedikitnya waktu pertemuan untuk kami sekedar saling mengenal turut menambah kesan asing pada diri kami masing-masing.
“Kamu cantik,” gumam Adi yang terdengar seperti orang berkumur.
Mau tak mau aku menoleh. Ekspresi Adi tetap datar. Bahkan ia sama sekali tak memandangku. Ia memilih duduk menatap kakinya yang tertutup sepatu pantofel.
“Ya, banyak yang bilang juga. Terima kasih,” ujarku tak sopan. Namun, sejak pagi memang kata-kata itu yang sering dilontarkan oleh para tamu yang melihatku. Aku tak peduli walau mereka, dan juga Adi, hanya sekadar berbasa-basi.
Kuakui, memang penampilanku berbeda dari biasanya. Tubuh kurusku kini terbalut kebaya putih milik Mama waktu muda dulu, dengan kain jarik batik yang diwiru. Selendang putih menutupi bahuku, yang juga berfungsi sebagai penutup kepalaku dan Adi saat akad nikah tadi. Rambutku disanggul biasa, tanpa paes seperti pengantin Solo. Wajahku dirias oleh Jeng Merry, penata rias langganan Yati yang sudah dipesankan untuk hari pernikahanku. Banyak yang bilang aku ‘manglingi’, istilah untuk pengantin yang terlihat berbeda dan lebih cantik dari penampilan biasanya. Inilah alasan Mama melarangku memakai rias wajah berlebihan sebelum menikah, apalagi mencabut alis seperti yang sedang tren saat ini.
Berbeda dengan penampilan pengantin laki-laki yang kini duduk di sebelahku. Jas hitam yang dikenakan Adi terlampau kebesaran untuk tubuhnya yang kurus, tetapi lengan bajunya tak cukup menutupi tangannya yang panjang. Ia mengenakan kemeja putih tanpa dasi di balik jasnya, berpadu dengan celana bahan berwarna hitam. Sepatu pantofelnya terlihat menggembung di bagian ujungnya, disemir hingga mengkilap. Rambutnya yang keriting dipotong pendek. Wajahnya yang berwarna cokelat gelap dipenuhi keringat sebesar biji jagung.
Sebenarnya, aku kasihan juga pada Adi. Andaikan dia mau berkonsultasi denganku mengenai apa yang akan ia kenakan di hari pernikahan ini, tentu aku akan membantunya. Namun, ia hanya dua kali mampir ke rumah pasca lamaran, itu pun hanya membicarakan seputar dokumen persyaratan dan persiapan pernikahan secara umum. Selebihnya, keluargaku yang menyiapkan keseluruhan acara ini.
Keluarga besar Adi bahkan tak kelihatan batang hidungnya dalam acara pernikahan yang sakral ini. Berulang kali Pak Kusni meminta maaf pada keluargaku sebelum berangkat ke KUA, karena orang tua Adi lagi-lagi tak bisa datang ke Jakarta. Begitu pula kakak dan adik Adi, hanya satu orang yang dapat hadir karena juga merantau di ibukota ini. Keluargaku memaklumi karena jarak jauh yang memisahkan, tapi bagiku rasanya sulit menerima orang tua yang tak datang pada pernikahan anaknya. Walau kutahu, tak ada kewajiban orangtua untuk menikahkan anak laki-laki mereka, berbeda dengan anak perempuan yang harus diwalikan. Namun, apakah mereka tidak ingin mengetahui bagaimana wanita yang akan menghabiskan sisa hidup bersama anak mereka kelak?
Aku membuang pikiran negatif dengan mengedarkan pandang ke sekitar. Bapak yang mengenakan baju batik kebanggannya terlihat sumringah, sedang mengobrol dengan kawan-kawannya sesama pedagang di pasar. Mama mengenakan kebaya cokelat, juga sedang tertawa sambil bersalaman menyambut ibu-ibu tetangga yang datang. Mereka berbondong-bondong menuju ke tempatku, membuat aku dan Adi refleks berdiri. Tersenyum, bersalaman, dan mengucapkan terima kasih pada tamu yang memberi selamat. Itulah tugasku hari ini.
Teras rumahku disulap menjadi semacam pelaminan. Kursi jati panjang yang kududuki ini ditempatkan di tengah sisi kanan teras, tempat dipan bambu dan kursi goyang kebesaran Bapak biasa bersemayam. Di halaman depan, puluhan kursi plastik sudah berjajar tak karuan di atas bekas gundukan pohon teh-tehan yang dipangkas habis. Pohon jambu yang menjadi pelindung rumah dari sengatan matahari pun tak luput dari penebangan. Sebuah tenda tanpa hiasan terpampang di atas halaman, menutupi tamu dari rintik hujan yang perlahan turun dengan lembut.
Para tamu keluar masuk dari dalam ruang tengah rumah sambil membawa piring berisi makanan. Meja panjang pinjaman dari warung Mbok Sum digelar di ruang tengah. Di atasnya, berjajar piring dan mangkuk saji yang penuh dengan lauk pauk serta sayur. Ada daging semur, sayur sop, sambal goreng kentang, krecek, karedok, pecak ikan mas, dan sekaleng kerupuk udang. Termos nasi terletak di meja rendah dekat pintu masuk bersama dengan piring dan sendok garpu yang sudah dibungkus dengan tisu makan. Bude Murti yang mengajukan diri untuk menjaga meja prasmanan, kini sedang sibuk memberikan piring dan sendok untuk para tamu yang hendak menyantap hidangan.
“Adi, Nuri, makan dulu, yuk. Kalian, kan, belum makan dari pagi,” ajak Bude Narti yang tiba-tiba ada di depan kami dengan lembut.
Adi mengangguk sopan sambil tersenyum. “Iya, Bude.”
“Ayo, ayo! Makan dulu sebentar di dalam,” Bude Narti menarik lengan Adi, menyuruhnya bangkit.
“Aku nggak lapar, Bude,” ujarku malas.