Rasa penat dan lelah setelah seharian duduk 'dipajang’ sedikit mereda setelah aku membasahi sekujur tubuhku dengan air. Kukeramasi rambut yang kaku karena semprotan hairspray. Tak lupa kugosok wajahku dengan keras menggunakan sabun, menghilangkan lapisan demi lapisan bedak yang terasa lengket dan berkerak. Kurang lebih sekitar satu jam waktu yang kuhabiskan untuk membersihkan diri, tanpa menghiraukan teriakan adik-adikku yang sudah mengantri di luar kamar mandi.
Tikar lebar di ruang tengah sudah digelar saat aku selesai mandi. Di tengah ruangan, tersaji bakul nasi yang penuh terisi, juga piring-piring berisi sisa lauk tadi siang. Mama mondar mandir dari dapur ke ruang tengah, membawa piring bersih dan gelas. Aku segera membantunya, membawa sendok bersih dan kerupuk dalam toples.
“Nuni, panggil Bapakmu sama Mas Adi, ajak makan dulu,” perintah Mama pada Nuni yang sedang duduk di sudut ruangan. Setelah memastikan Nuni menjalankan perintahnya, Mama kemudian berjalan ke arah Anto dan Dudi yang sedang berkelahi. Dua tangannya dengan lihai mendarat di telinga mereka, memuntir perlahan hingga dua bocah laki-laki itu menjerit kesakitan. Alih-alih melepaskan capitan jarinya, Mama malah menarik mereka duduk di tengah ruangan. “Jangan berantem terus!” omel Mama galak.
Anto dan Dudi saling bertatapan tajam. Jarak usia mereka yang terpaut tiga tahun membuat keduanya sering terlibat perseteruan antar bocah. Kadang aku gemas juga ingin menjewer mereka seperti Mama, tapi aku tak tega. Namun tetap saja, kadang jika sudah amat kesal, cubitanku sering bersarang di tubuh dua adikku ini jika mereka benar-benar keterlaluan.
Bapak masuk ke dalam rumah, diikuti Adi yang sudah berganti baju menjadi kaos dan celana pendek. Rambutnya tampak basah dan tubuhnya terlihat segar. Mungkin dia sudah membersihkan diri di kontrakan Bang Tio karena tak tahan menungguku yang bersemedi di kamar mandi.
“Ayo, sini Adi, duduk. Makan dulu,” ajak Mama sambil tersenyum pada Adi yang tampak kikuk.
“Iya, Bu,” ucapnya sopan sambil mengangguk. Ia mengambil tempat di samping Bapak.
Mama mengedarkan pandangan, seolah mengabsen anggota keluarga yang hadir. Di dekat pintu keluar ada Bapak dan. Nuni mengambil tempat di samping kanan Bapak, bersebelahan dengan Anto, kemudian aku di sampingnya. Dudi, yang masih saja melotot pada Anto, duduk di seberangnya.
“Ali mana?” tanya Mama tak jelas pada siapa.
Kami bertatapan, tanda tak ada yang melihatnya sejak tadi.
“Tak suruh beli rokok,” ujar Bapak sambil mengambil piring dan mengambil tiga centong nasi di bakul.
Tak biasanya kami duduk bersama untuk makan malam seperti ini. Keluargaku memberikan keleluasaan untuk makan kapan pun kami lapar. Juga tak harus duduk di ruang tengah dengan rapi. Kadang ada yang makan di dapur, di teras, bahkan di kamar. Tapi jika ada kesempatan, aku dan Nuni selalu makan bersama dalam satu piring. Kebiasaan ini terbawa sejak kami kecil, saat masih tinggal di kampung dulu. Berawal karena keterbatasan ekonomi, kami jadi terbiasa makan satu piring berempat. Aku, Nuni, Ali, dan Mas Reza yang kini merantau. Saat itu Dudi dan Anto belum lahir.
Selesai makan, aku membantu Mama membereskan peralatan makan. Adi dan Ali menggelar kasur lantai tipis di atas tikar. Anto dan Dudi asyik duduk di ruangan, bermain kartu bergambar. Kecepatan berbaikan mereka berbanding lurus dengan kecepatan mereka bertengkar. Nuni keluar dari kamar, mengambil selimut dan guling kesayangannya.