“Nuri sudah tidur?” terdengar suara Adi semakin dekat di punggungku.
Seketika bulu kudukku meremang. Aku berada pada pilihan yang sulit, apakah melanjutkan pura-pura tidur atau menjawab pertanyaannya. Namun rasanya aneh kalau aku tiba-tiba bersuara, padahal aktingku sejak tadi sudah bagus. Akhirnya aku tetap diam dan semakin erat memejamkan mata.
Hening. Kesunyian yang terasa aneh. Seharusnya aku mendengar suara decitan sambungan besi yang menopang kasur saat ada yang naik ke ranjang. Namun, hingga beberapa saat, tak kudengar suara itu. Apa Adi kembali lagi keluar?
Kuputuskan untuk membongkar kepura-puraanku. Aku segera membalikkan badan dan benar saja, Adi tak ada di sampingku. Kalau sampai Bapak tahu Adi tidur di luar, aku pasti akan mendapat kemurkaan yang tak perlu. Apalagi kalau dikira aku yang mengusirnya.
Aku segera beringsut menuju tepi ranjang. Kuturunkan kaki dan bersiap menyentuh ubin yang dingin. Namun, alih-alih kakiku menekan benda keras, aku malah merasakan sensasi kenyal dan empuk. Aku melongok ke bawah tempat tidur dan kudapati kakiku mendarat di perut. Astaga! Ternyata Adi tidur di ubin! Dan hanya beralaskan selimut pemberian Mama! Bisa gawat kalau sampai Mama dan Bapak melihat.
“Nuri masih bangun?” Suara Adi datar tanpa ekspresi. Ia menatapku sambil tersenyum.
“Kok, kamu tidur di situ?” pekikku galak, menutupi suaraku yang gemetar.
“Saya takut ganggu kamu, kirain kamu sudah tidur pulas,” jawab Adi sambil bangkit ke posisi duduk.
Aku merasakan kakiku yang masih tertopang di perutnya kini mulai bergeser. Buru-buru ku tarik kakiku agar tak berpindah ke bagian tubuh lain.
“Aku … Aku mau, ehm, aku mau pipis,” kilahku gelagapan. Aku langsung melompat melewati Adi tanpa menatap wajahnya. “Kamu tidur di atas aja,” ujarku sambil melesat ke luar kamar.
Seketika tubuhku terasa melayang dan kesadaranku hilang sesaat, bersamaan dengan teriakan keras yang terdengar mengiringi tubuhku yang terjerembab ke lantai. Kemudian aku merasa kakiku terangkat dan ditopang kaki dengan lutut menekuk. Aku membalikkan badan dan mendapati Ali sudah duduk sambil meringis kesakitan.
“Mbak Nuri ngapain, sih? Sakit tau!” omel Ali sambil mengusap kakinya.
“Kamu sih, ngapain kakinya di situ? Jadi keinjak, kan?” balasku tak mau kalah. Baru terasa lututku sakit setelah menghantam ubin keras.
Mama keluar kamar dengan wajah kusut dan rambut berantakan. Matanya menyipit, mengamati situasi yang terjadi. “Ono opo, sih? Berisik tenan!”
“Mbak Nuri, tuh! Lari-lari nginjek kaki orang!” Ali mengadukanku.
“Orang buru-buru kebelet pipis!” timpalku. “Makanya tidurnya yang benar, jangan ngalangin jalan!”
“Wis, wis! Berisik. Sudah malam! Sana, Nuri! Katanya mau pipis. Ali, tidurnya mujur mrono, biar ndak keinjak lagi,” ujar Mama seraya kembali masuk ke kamar. Ali bersungut-sungut dan pindah ke sudut ruangan. Aku langsung melesat ke kamar mandi.
Kejadian penginjakan kaki Ali yang tak disengaja ini ternyata cukup ampuh untuk mengalihkan keteganganku. Aku sengaja berlama-lama di kamar mandi, menunggu kandung kemihku mengeluarkan air seni. Dalam hati, aku berdoa semoga saat aku kembali ke kamar Adi sudah tidur, supaya kecanggungan yang menyiksa tidak terjadi lagi.
Aku berjalan hati-hati saat kembali ke kamar, menghindari kaki Anto dan Dudi yang saling bersilangan. Kusibak gorden kamar perlahan dan hatiku mencelos saat mendapati ternyata harapan tak sesuai kenyataan. Mataku beradu pandang dengan Adi yang kini duduk menghadapku sambil tersenyum. Sesaat kami seolah terbius dengan pikiran yang tiba-tiba menumpul, tak tahu bagaimana menggerakkan bibir untuk berbicara.
“Kamu belum tidur?” tanyaku bertepatan dengan Adi yang bertanya, “Kamu nggak apa-apa?”