Sinar mentari dengan tajam menembus lurus dari balik jendela di samping kamarku, menghadirkan bayangan merah saat kelopak mata masih tertutup. Aku membuka mata perlahan, membiarkannya beradaptasi dengan peralihan cahaya gelap yang kuingat. Kusipitkan mata demi mengamati ruangan yang sudah bermandi cahaya benderang, menandakan bahwa hari sudah siang. Sudah berapa lama aku tidur? Dan sudah pukul berapa sekarang, saat aku bangun?
Aku menggeliat, meregangkan tubuh yang seolah baru saja berlari sejauh satu kilometer. Kepalaku terasa berat, terutama saat aku mencoba bangkit dan duduk. Aku diam sejenak, memastikan tubuhku sudah siap untuk bangkit. Setelah penat yang mendera sedikit berkurang, aku menggeser tubuhku dan turun dari tempat tidur. Kugeser gorden pembatas kamar dengan ruang tengah. Seketika mataku terbelalak saat melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Atau siang?
Mengucek kembali mata, aku membuang kotoran yang menempel selama tidur. Aku melebarkan mata untuk memastikan tak salah melihat jam. Ah, baru kali ini bangun amat siang. Pantas saja kepalaku berat dan pusing tak karuan. Dengan gontai, aku berjalan ke kamar mandi. Kubasuh wajahku dengan air dingin dan tak lupa ku basahi ubun-ubunku agar terasa lebih ringan.
Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu yang janggal. Bagaimana bisa aku bangun sesiang ini? Kenapa Mama tak membangunkanku? Biasanya jangankan bangun pukul sepuluh, saat matahari sudah muncul saja pasti Mama sudah murka. Lagi pula, bukankah aku harusnya berangkat kerja? Apa mungkin ini hari libur? Rasanya tidak. Kalau hari libur, pasti Anto dan Dudi sedang asyik bermain di ruang tengah. Kemana mereka? Apakah sekolah? Berarti ini hari kerja, bukan? Kenapa aku libur? Apa karena kemarin hari, ah! Kemarin hari pernikahanku! Hah? Aku sudah menikah!
Aku memukuli kepalaku yang kini terasa berputar akibat pertanyaan bodoh yang hilir mudik melintas. Bagaimana bisa aku lupa kalau aku sudah menikah? Dan suamiku? Astaga! Adi tak ada di sampingku tadi! Kemana dia?
Ingatan tentang kejadian semalam mulai melintas secara runtut, membuat rasa malu kembali membakar wajahku hingga ke tubuh. Oh, tak dapat kugambarkan lagi bagaimana perasaanku saat ini. Campur aduk! Malu, takut, dan bodoh! Bagaimana aku akan menatap mata Adi, dan Nuni, nanti?
Aku mengendap-endap keluar dari kamar mandi, menghindari pertemuan dengan Adi dan Nuni secara tiba-tiba. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksiku nanti. Yang jelas aku tak ingin bertemu siapa pun saat ini. Kuedarkan pandangan ke seantero rumah sempit ini. Sepi. Tak ada tanda-tanda keluargaku di dapur dan ruang tengah. Sembari berjalan ke teras, aku mengintip kamar Mama. Kosong. Kulanjutkan perjalanan, hingga mendapati Mama sedang berjalan masuk sambil membawa dua buah kantong belanja besar.
Rasa maluku kalah oleh rasa iba melihat wanita paruh baya itu mengangkut beban yang terlihat cukup berat. Aku segera berlari menghampiri Mama di muka teras. Kuambil satu kantong belanja dari tangannya sambil mengamati perubahan ekspresi wajahnya. Tak ada tanda-tanda yang mencurigakan kalau Mama sudah mengetahui kejadian semalam hingga membuatku memberanikan diri untuk membuka mulut.
“Adi kemana, Ma?” tanyaku dengan nada yang kubuat sedatar mungkin.
“Tadi pagi dia bilang mau ambil baju ke kontrakannya,” jawab Mama datar. “Katanya nggak berani bangunin kamu lagi pulas banget.”
“Adi, Adi!” terdengar suara bentakan Bapak tiba-tiba. Aku terlonjak sambil menoleh ke asal suara. “Sudah nikah jangan panggil namanya! Panggil Mas Adi! Dia kan lebih tua dari kamu.”
Aku merengut. Entah mengapa Bapak jadi semakin galak setelah dekat dengan Adi. Bapak terus menerus membelanya seolah dia yang anak kandungnya.
“Iya,” sahutku pelan, sekadar memenuhi tata krama saat diajak bicara orang tua. Kupercepat langkahku menuju dapur, mendahului Mama. Aku semakin malas berbicara dengan Bapak.
“Kamu, kok, nggak keramas?” tanya Mama yang tiba-tiba sudah menyusul di sampingku.
Aku menggeleng, “Malas ah, kemarin kan sudah.”
“Loh, pengantin baru itu harus keramas!”
“Hah?” pekikku tak percaya. “Memangnya kenapa?”
Mama memalingkan wajah, salah tingkah. “Ya, kalau habis anu itu harus, ehm—”
Gubrak!