Nuni menggeleng. “Bukan! Bukan itu. Aku cuma ingin bisa punya uang sendiri. Kayak Mbak Nuri. Aku tau, aku nggak lulus SMP kayak Mbak. Makanya sekarang aku cuma kelayapan nggak jelas saja di rumah. Mas Ali, jualan rokok di lampu merah. Dudi sama Anto, sekolah. Aku? Aku kesal dihina terus sama orang. Dan lagi, mereka selalu membandingkan aku sama Mbak.”
Rasa iba membuncah dari dadaku. Ingin rasanya kupeluk adik perempuanku satu-satunya ini, tapi aku khawatir kecanggungan akan membelit kami karena tak terbiasa melakukannya. Aku menahan tanganku agar tak bergerak sendiri membelai rambutnya yang lurus. Sebuah ide mendadak masuk di kepalaku, membuatku bersemangat.
“Nuni, gimana kalau nanti ada lowongan di pabrikku, aku masukin kamu?”
Mata Nuni membelalak dengan lebar, membuatnya seolah ingin menelanku. “Memangnya bisa?”
Aku berdecak, “Yah, kita coba saja. Nanti aku titip lamaran kamu ke Mpok Ela, atasanku. Mudah-mudahan dia mau bantu.”
Sorot netra Nuni berubah menjadi binar, “Iya, aku mau!”
“Tapi, di pabrikku seragamnya kan pakai rok span. Kamu mau?”
“Mau! Mau banget! Biar aku bisa cantik kayak Mbak Nuri!” pekik Nuni berapi-api.
“Ya udah, nanti kamu harus lebih rajin bersihkan diri, ya. Jangan kumal lagi, belajar pakai rok. Dan belajar juga, latihan wawancara,” ucapku mengingatkan.
Nuni mengangguk dengan semangat. Ia bergerak maju dengan tangan terentang. Aku menduga ia hendak memelukku, tetapi urung dilakukan. Ia hanya tersenyum sambil mengucapkan terima kasih, kemudian berlari keluar dengan riang. Gadis itu hampir menubruk Adi yang muncul dengan tiba-tiba di depan gorden. Entah refleks apa yang menggerakkan tubuhku, tiba-tiba aku langsung bangkit berdiri.
“Kenapa Nuni?” tanya Adi membuka pembicaraan sambil berjalan menghampiriku.
“Ehm,” jawabku pelan sambil menundukkan kepala, “Aku bilang mau masukin dia kerja di pabrik.”
Jantungku berdetak lebih cepat. Dalam hati aku terus berdoa agar Adi tak menyinggung kejadian semalam.
“Wah, bagus itu. Supaya dia ada kegiatan. Tadi saya lerai waktu dia berantem sama Mahmud,” ucapnya ringan. Tiba-tiba ia mengangkat tangan dan menutup mulut. “Maaf, tadi saya sudah janji sama Nuni nggak akan bilang.
Aku mendesah, “Iya, nggak apa-apa. Tadi Nuni udah cerita juga. Tapi tolong jangan bilang Bapak. Kasihan Nuni, nanti bisa dipukuli lagi.”
Adi mengangguk. “Oh iya, saya mau bicara. Tapi sebaiknya sekalian sama orangtuamu.”
Aku tercekat. Tak biasanya ada pembicaraan penting yang harus dibicarakan bersama orang tuaku. Apakah Adi mau mengadukan perilakuku semalam? Firasatku tak enak.