Riku Takahashi tidak pernah menganggap dirinya istimewa. Baginya, hidup hanyalah deretan kode-kode yang harus diselesaikan, bug yang harus diperbaiki, dan tenggat waktu yang selalu mengejar. Di usianya yang baru menginjak 27 tahun, dia sudah menjadi salah satu programmer paling andal di perusahaan teknologi tempat dia bekerja—meskipun "andal" mungkin bukan kata yang tepat untuk menggambarkan seseorang yang lebih sering berbicara dengan layar komputer daripada manusia sungguhan. Setiap pagi, Riku bangun di apartemen kecilnya yang dipenuhi tumpukan buku pemrograman, kopi dingin yang tak sempat diminum, dan suara monoton dari asisten AI-nya, Aether.
"Aether," gumam Riku sambil mengucek matanya, "berapa jam aku tidur kali ini?"
"Empat jam, dua puluh tujuh menit, dan lima belas detik," jawab Aether dengan nada datar yang selalu sama, tanpa emosi. "Rekomendasi medis untuk orang dewasa adalah tujuh hingga delapan jam tidur per malam. Anda masih kurang."
Riku hanya mendengus. "Siapa peduli? Lagipula, siapa yang butuh tidur kalau ada kafein dan kamu?" katanya sambil meraih cangkir kopi yang tersisa dari semalam. Dia membuka laptopnya, layarnya langsung menyala dengan barisan kode yang belum selesai. Aether, seperti biasa, sudah menyiapkan daftar tugas harian yang tampaknya tidak akan pernah habis.
Hari-hari Riku berjalan seperti mesin yang terprogram. Bangun, kerja, makan (kalau sempat), dan kembali bekerja sampai larut malam. Kadang-kadang, dia berpikir apakah hidupnya akan selalu seperti ini—hampa, tapi stabil. Namun, ada satu hal yang membuatnya bertahan: rasa ingin tahunya yang tak pernah padam. Meski dunia nyata terasa begitu monoton, di dalam pikirannya, dia selalu menciptakan dunia-dunia baru—sistem-sistem imajiner yang lebih efisien, algoritma yang sempurna, bahkan dunia virtual tempat segala sesuatu bisa dikontrol dengan logika. Dunia yang lebih baik, pikirnya. Dunia yang lebih masuk akal.
Namun, Riku tidak tahu bahwa tak lama lagi, kehidupan monotonnya itu akan berakhir. Dan ketika saatnya tiba, dia akan menemukan bahwa dunia yang dia bayangkan selama ini mungkin lebih nyata daripada yang pernah dia duga.
Namun, meskipun tampaknya Riku hidup dalam rutinitas yang monoton, ada sisi lain dari dirinya yang jarang terlihat—bahkan oleh dirinya sendiri. Di balik layar komputer yang selalu menyala, di tengah deretan kode-kode yang tak pernah berakhir, ada imajinasi liar yang kadang muncul tanpa dia sadari. Saat malam semakin larut dan kafein mulai kehilangan efeknya, Riku sering menemukan dirinya melamun tentang dunia-dunia lain—dunia tempat segala sesuatu bisa dikendalikan dengan logika sempurna. Dunia tanpa bug, tanpa kekacauan, tanpa manusia yang sulit dipahami. Dunia yang lebih masuk akal.
"Aether," gumamnya suatu malam saat tangannya berhenti mengetik, "apa menurutmu ada cara untuk... membuat dunia seperti itu?"
Aether tidak langsung menjawab. Setelah beberapa detik hening, suaranya yang datar kembali terdengar. "Dunia ideal seperti yang Anda gambarkan tidak ada dalam data realitas saat ini. Namun, teori-teori tentang simulasi alam semesta menunjukkan bahwa kemungkinan eksistensi dunia alternatif adalah 42%."
Riku tertawa kecil, meski nada suaranya terdengar kosong. "42%, ya? Itu angka yang cukup optimis untuk standarmu."
"Angka tersebut didasarkan pada probabilitas matematis," balas Aether tanpa emosi. "Namun, jika Anda ingin menciptakan dunia ideal, saya sarankan untuk fokus pada proyek saat ini terlebih dahulu. Deadline Anda tinggal 48 jam."
Riku mendesah, lalu kembali menatap layar komputernya. Proyek kali ini adalah salah satu yang paling rumit yang pernah dia kerjakan—sebuah sistem AI generatif yang bisa belajar secara mandiri. Perusahaan menginginkan hasil yang sempurna, tapi Riku tahu bahwa kesempurnaan hanyalah ilusi. Bahkan AI pun memiliki batas. Meski begitu, dia tidak bisa menyerah. Tidak sekarang. Bukan ketika dia merasa begitu dekat dengan sesuatu yang besar—sesuatu yang mungkin bisa mengubah segalanya.
Namun, ada sesuatu yang aneh malam itu. Seiring waktu berlalu, Riku mulai merasa tubuhnya semakin lemah. Matanya kabur, tangannya gemetar, dan napasnya terasa berat. Dia mencoba mengabaikannya, berpikir bahwa ini hanya efek dari kurang tidur dan terlalu banyak kopi. Tapi ketika lampu laboratorium tiba-tiba berkedip dan suara alarm memenuhi ruangan, dia tahu ada yang tidak beres.