Pagi hari di Dunia Eterna terasa segar, dengan embun yang masih menetes dari dedaunan bersinar dan udara yang dipenuhi aroma magis. Riku membuka matanya dengan perasaan penuh semangat—hari ini adalah hari pertamanya mencoba mempraktikkan sihir berdasarkan pengetahuan yang dia dapatkan dari perpustakaan. Meskipun tidak memiliki aura sihir seperti orang lain, dia yakin bahwa logika pemrograman bisa menjadi kunci untuk menciptakan sesuatu yang baru.
"Aether," gumam Riku sambil duduk di tepi tempat tidur, "kita mulai hari ini."
Aether: "Affirmative. Berdasarkan data yang telah Anda pelajari kemarin, tingkat keberhasilan eksperimen awal Anda dalam menciptakan algoritma sihir adalah 47%. Rekomendasi: lakukan trial and error secara sistematis untuk meningkatkan probabilitas keberhasilan."
Riku tersenyum tipis. Angka 47% mungkin terdengar rendah, tapi itu cukup baginya untuk memulai. Dia tidak mengharapkan hasil instan—baginya, ini adalah proses debugging yang panjang, sama seperti saat dia bekerja di proyek-proyek pemrograman di dunia lamanya.
Setelah sarapan ringan di penginapan, Riku memutuskan untuk pergi ke hutan kecil di pinggiran kota. Tempat itu cukup sepi, sehingga dia bisa fokus tanpa khawatir mengganggu orang lain atau menjadi pusat perhatian. Dia membawa beberapa catatan penting dari buku-buku perpustakaan, serta tablet kristal kecil yang dia pinjam dari Dion sebagai media uji coba.
Di tengah hutan, Riku duduk di bawah pohon besar dengan daun-daun yang bercahaya samar-samar. Dia membuka catatannya dan mulai mempelajari lagi konsep dasar algoritma sihir. Menurut buku-buku yang dibacanya, setiap mantra sihir memiliki tiga elemen utama: input , proses , dan output . Input adalah energi sihir atau elemen magis yang digunakan, proses adalah manipulasi logis atas input tersebut, dan output adalah efek akhir yang dihasilkan oleh sihir.
Namun, masalahnya adalah Riku tidak memiliki aura sihir sebagai input. Dia harus mencari alternatif lain—mungkin menggunakan energi dari lingkungan sekitar, atau bahkan menciptakan simulasi energi melalui logika pemrograman.
"Aether," kata Riku sambil menulis kode-kode imajiner di udara dengan jarinya, "bisakah kita menggunakan energi alam sebagai input? Misalnya, energi dari angin atau cahaya matahari?"
Aether: "Kemungkinan penggunaan energi alam sebagai input adalah 63%. Namun, dibutuhkan algoritma yang sangat presisi untuk mengonversi energi tersebut menjadi bentuk yang stabil dan dapat dimanipulasi."
Riku mengangguk. Dia mulai merancang algoritma sederhana di pikirannya, mencoba mensimulasikan cara kerja sihir berdasarkan prinsip-prinsip pemrograman. Dia membayangkan sebuah fungsi yang akan mengumpulkan partikel-partikel energi dari udara sekitar, kemudian memprosesnya menjadi pola tertentu untuk menghasilkan efek visual—misalnya, bola cahaya kecil.
"Baiklah," gumam Riku, "kita mulai dengan sesuatu yang sederhana. Aku ingin membuat bola cahaya."
Dia menutup matanya, mencoba berkonsentrasi. Dengan bantuan Aether, dia membayangkan algoritma yang mirip dengan program komputer:
Fungsi BuatCahaya():
Input: Partikel energi dari udara
Proses: Kumpulkan partikel → Konversi menjadi cahaya → Stabilkan intensitas
Output: Bola cahaya kecil
Namun, ketika dia mencoba menjalankan "program" ini dalam pikirannya, tidak ada yang terjadi. Tidak ada cahaya, tidak ada getaran energi—hanya hening.
Riku tidak menyerah. Dia tahu bahwa kesalahan adalah bagian dari proses. Dalam pemrograman, bug sering kali muncul karena kesalahan sintaksis atau logika. Mungkin hal yang sama juga berlaku di sini.
"Aether, analisis apa yang salah dengan algoritma tadi," kata Riku, frustrasi.