Setelah kumpul CPO beberapa kali, Hari Selasa kemarin adalah terakhir kalinya, sebelum seleksi CPO yang sebenarnya. Berisi penyampaian perlengkapan yang harus dibawa untuk seleksi 2 hari 1 malam, dilanjut dengan pembagian kelompok. Aku berada di kelompok 1 bersama Falah, Nesa, Imel, Bomas, Marsya dan Salsabila. Masing-masing kelompok harus menyiapkan penampilan seni untuk CPO unjuk bakat.
Berkat usulan Mila, kelompok kami memilih lagu dari sounftrack film 5 CM, Di Atas Awan. Itu terjadi begitu saja, saat aku bertemu Nesa yang juga tengah bersama Mila karena dari kelas yang sama. Di balai siswa, tempat seperti gazebo, namun lebih lebar dan tentunya sebagai pusat wi-fi, rencana awalku dan Nesa adalah musikalisasi puisi.
Setelah berkumpul dengan kelompok 1 yang lain, mereka setuju dengan lagu yang aku dan Nesa pilih, namun kami memutuskan hanya Nesa saja yang berpuisi diiringi petikan gitar oleh Bomas. Kemudian, yang lainnya bernyanyi dengan musik elektronik yang dibuat Falah dengan laptopnya. Ssebut aku norak, tapi ini adalah pertama kalinya aku melihat laptop merk apple untuk pertama kalinya.
Hari Jumat, pukul 1 siang. Sekitar 80 siswa kelas 1 berkumpul di graha laga dengan tas kegemukannya, baris sesuai kelompok seleksi CPO. Wajah sumringah terlihat layaknya tanpa beban seberat isi ransel. Salah satu alasannya karena tidak mengikuti jumat rutin. Suatu istilah pramukaan yang wajib bagi kelas 1.
Tidak sepertiku. Bukan aku suka pramukaan, tapi lesu ku karena tidak bisa ikut seleksi klub olimpiade. Padahal aku sudah mendaftarkan diri untuk bidang kebumian. Mengapa aku merasa CPO adalah penghalang?
Suka melamun begini, aku juga urutan teratas siswa pintar. Di SMP peringkat ku 1 paralel, juara harapan 2 Olimpiade IPS walaupun tingkat kota. Nilaiku di kelas kimia dan matematika juga tertinggi. Sejak SD sampai SMP aku sangat gemar berangkat sekolah dan menjalaninya. Apalagi di sekolah dasar itu, sering kali mengikuti lomba dan mendapat juara. Dari situlah aku mendapat tambahan uang jajan bahkan membeli sepatu dan tas baru dengan uang sendiri.
Kembali pada apel pembukaan seleksi CPO. Sudah hampir selesai karena waka kesiswaan, Bu Satri telah rampung memberi amanat. Kuyakini, setelah ini pasti cek perlengkapan. Itu adahal hal yang menyebalkan kau tahu? Bagaimana tidak, aku semalam menata barang ini susah payah dan harus dikeluarkan lagi.
“Salah satu memimpin cek perlengkapan di depan,” itu dugaanku yang kedua. Disini akan banyak perintah-perintah yang mengharuskan untuk unjuk diri. Lalu, pikiranku berikutnya pun terjadi, beberapa CPO cepat-cepat saling mengacungkan tangan. Aku salah satunya? Tidak sempat. Aku terfokus pada urutan barang apa yang harus dimasukkan terlebih dahulu.
“Setelah cek perlengkapan, masukan barang-barang kalian lagi ke dalam tas waktu 2 menit,” benar kan. Aku sudah tahu alurnya. Tak kalah tegas dengan ucapan, muka kakak OSIS kelas 2 itu tak terlihat senyum manis sama sekali. Ya, walaupun tidak segarang kakak OSIS kelas 3 yang mengawasi di belakang.
Aku diam-diam melirik dengan ekor mataku, mereka memakai jas kepengurusan OSIS berwarna abu-abu, hanya berdiri dan sesekali berbisik satu sama lain. Kurasa akan ada hal mengejutkan nantinya dengan dalang kakak OSIS kelas 3. Tidak mungkin kan mereka hanya hadir sebagai tamu saja.
Walau terdengar suara keluhan tidak sedikit, namun semua CPO berhasil menutup tas dengan rapih. Mental di sini rata-rata pernah menjajal organisasi juga saat SMP. Bagi anak mama, tidak akan berniat untuk menyia-nyiakan waktu liburannya dengan acara yang salah sedikit dibentak.
Kau bilang ini kejam? Dari sampul kedua memang terlihat seperti itu. Namun, menurut pandanganku ini pembekalan. Bukan sedekar omong kosong menempa mental, tapi jika kau memang tulus berada di sini, satu hari kedepan adalah kenangan yang tak terlupakan.
Jadwal kegiatan diawali oleh tes tertulis dalam waktu 90 menit. CPO dibagi menjadi 2 ruangan, yaitu dalam kelas 2 MIPA 1 dan kelas 2 IPS 1. Kelas yang terpisah dari angkatannya yang lain, dan terkenal tidak akrab walau saling bersebelahan.
Soal berisi pengetahuan umum, dan beberapa tes psikologis yang sering aku coba di internet. Ada juga tes psikopat yang sebenarnya sudah aku tahu jawaban apa untuk mengidentifikasi sebagai orang anti sosial itu. Mungkin kakak OSIS khawatir ada oknum psikopat gila yang bersarang di organisasi paling elit di sekolah itu.
Waktu mulai sore. Kelas 1 yang lain, baik mereka jumat rutin atau ikut seleksi klub olimpiade, sudah menggendong tas melenggang pulang ke rumah. Sedangkan aku, harus menuju ruang musik untuk tes sekbid. Aku melangkah dengan sepatu pantofel meminjam milik Sonya, teman sekelasku yang juga terpilih menjadi salah satu anggota MPK. Seleksi organisasi tertinggi itu memang lebih awal dari yang lain.
Aku masuk ruangan kedap suara ini hanya dengan kaos kaki putih polos setinggi 15 cm di atas mata kaki. Untung saja aku diwawancarai oleh Kak Englisha, kalau dengan Kak Dinda, kakak OSIS kelas 3 itu, aku tidak bisa membayangkan. Bahkan aku tahu namanya saat akan masuk ruang musik tadi diberitahu oleh Bayun.
“Kamu punya proker yang bagus, semangat terus ya buat seleksinya. Lanjut ke sekbid sekundermu,” aku ikut tersenyum walau tak semanis Kak Englisha. Aku merasa senang ide pameran batik dan festival toko budaya sebagai program kerjaku setidaknya direspon.
Hal yang menyenangkan itu seketika sirna saat menunggu giliran di depan kelas 3 MIPA 8, tempat tes wawancara sekbid 10. Aku mendapat curhatan dari Husna, cewek kelas IPS yang terkenal cantik. Katanya, ruangan di balik pintu itu menyeramkan. Bahkan dia dibilang hanya ingin tenar masuk sekbid 10 OSIS ini.
Helaan nafas pasrahku setelah menelan ludah susah payah. Aku masuk dan mendapati kak Salsa, Kak Elfa dan kak Mada duduk di balik meja depan papan tulis. Sangat berbeda dengan sekbid 8 tadi, karena disini semua kakak OSIS dari sekbid 10 mewawancarai satu per satu CPO.
“Perkenalkan dirimu semenarik mungkin,” itukah suatu pertanyaan wajib? Tadi di ruang musik juga aku mendengar kalimat itu diawal. Setidaknya tidak disuruh memperkenalkan diri menggunakan bahasa inggris karena sebenarnya aku tidak jago akan itu.
“Saya Yusriyyah Adibah, biasa di panggil Yusri, dari kelas 1 MIPA 1. Hobi saya menyanyi dan menulis cerita,” sampai di situ saja. Memang tidak ada minimal waktu nya, kan.
“Sebutkan benda di ruangan ini dalam bahasa inggris,” ini dia. Nada suara Kak Mada, kakak OSIS kelas 3 yang duduk di tengah itu tidak terlalu keras namun tatapannya tajam.
Kepalaku menoleh kekanan dan kiri mencari tulisan berbahasa inggris. Oh! Itu dia, di dinding samping pintu, sebuah wall sticker berukuran tidak terlalu besar, bertemakan around the world, “ocean, europe, africa, world...”
“Bukan itu!” Kak Mada menginterupsiku. Seketika mulutku terbuka tak bersuara. Hati-hati mata ini kembali menatap tiga cewek yang duduk di hadapanku.
“Maksudnya, kamu nyebutin benda di ruangan ini pakai bahasa inggris,” ada perasaan tidak puas dan geram yang kudengar dari kalimat Kak Mada. Bodohnya diriku, apa tadi sempat melamun sebentar?
“Table, book,” pancing Kak Elfa mencontohkan apa yang dimaksud oleh kakak kelasnya itu.
“oh... table, book,” lirihku paham seraya mengulang ucapan Kak Elfa, “chair, floor, lamp, door, window, pencil...”
“Cukup,” lagi-lagi Kak Mada memotong ucapanku.
Begitulah seterusnya mereka mengajukan pertanyaan yang sepertinya tertulis dalam kertas di atas meja. Suasana tenang lancar,tidak semenakutkan yang aku kira. Bahkan aku disuruh pura-pura menegur Kak Salsa yang tidak menggunakan atribut lengkap saat upacara bendera. Aku juga mempraktekan ketika mengajukan proposal kegiatan untuk mendapat sponsor dari suatu perusahaan. Aku menikmatinya, senyum kembali menunjukan bahwa detak jantung ini normal.
“Ini sekbid sekunder kamu ya,” setelah pamitan, dan baru saja berdiri, Kak Mada mengajakku bicara dengan nada yang semakin ramah.
“Iya, Kak,” jawabku sekenanya. Ayolah, aku sudah disuruh keluarkan tadi.
“Sekbid primer kamu apa?” kini giliran Kak Elfa seperti tak membiarkan aku keluar sekarang juga.
“8, Kak,”
“Kamu bisa nyanyi?” apakah Kak Elfa itu tipe yang sangat penasaran pada orang lain? biar aku katakan, harus gitu CPO yang memilih sekbid 8 jago nyanyi?
“Bisa, Kak,” senyumku sebenarnya terpaksa. Lebih kepada memohon ingin segera dilepaskan.
“Coba nyanyi,” sepertinya mereka tidak setuju pada isyaratku sama sekali. Kompak mereka bertiga kini memohon agar aku tinggal dan bernyanyi sebentar. Ditambah dukungan ‘jangan malu-malu’ dan ‘lagunya bebas, nyanyi apa aja terserah’ yang memaksaku untuk mempersembahkan satu lagu.