Aku Bukan Anak OSIS

Adiba
Chapter #5

5

“Yus, ini,” Nesa memberikan kartu tanda pengenal panitia rapat konsolidasi dengan wadah bertali lanyard padaku.

“Makasih, Nes,” aku menerimanya dan memasangkannya ke leher dengan satu tangan yaitu sebelah kanan. Sedangkan tangan kiriku membawa taplak meja yang dipinjam dari ruang tata usaha untuk dipasang pada meja ruang adiwityata.

“Duh,” Nesa yang berjalan beriringan denganku sedikit mengeluh seraya berulang kali menghapus keringat di telapak tangannya pada rok hitam seragam identitas SMA kami, “aku deg-degan nih. Gimana ya nanti presentasinya?” melanjutkan kecemasannya, Nesa menggigit bibir bawahnya.

“Pasti lancar, Nes. Semangat!” sama dengan Nesa, akupun merasa tak tenang. Berusaha menutupinya dan memberi dukungan pada cewek berpipi menggemaskan ini.

“Oke, Semangat!” dengan mengepalkan jari tangan, nada bicara Nesa pun berubah mantap.

Kami berdua akan menuju ke lantai dua di atas kelas 3 IPS. Tempat dimana rapat konsolidasi dilaksanakan, ruang adiwiyata. Ini adalah program kerja pertama ku menjadi pengurus OSIS. Ya, sekarang aku menjadi satu dari 46 pengurus OSIS di SMA ini. Aku tidak ikut pelantikan resmi, tapi setelah izin pada Bu Satri selaku Waka Kesiswaan, untunglah mendapat izin.

Ngomong-ngomong mengenai rapat konsolidasi, ini adalah kegiatan dimana perkenalan pengurus OSIS baru kepada ketua organisasi dan ekstra kurikuler. Acaranya berisi pemaparan program kerja mulai dari pengurus harian, dilanjutkan sekbid 1 hingga 10 untuk masa jabatan satu tahun kedepan.

Posisiku dalam kepanitiaan ini sebagai seksi konsumsi. Aku bersama Evi, mencoba memesan snack di toko aneka kue dekat SMA. Biasanya memang disitu tempat langganan snack konsumsi, namun harganya lumayan mahal dan kami harus menyesuaikan dengan rencana anggaran di proposal. Kata Kak Lina, wakil ketua OSIS kami, nantinya akan diurus oleh pengurus OSIS kelas 2.

Lihatlah, saat aku dan Nesa sampai di adiwiyata, snack konsumsi berjumlah peserta rapat konsolidasi dan panitia sudah tersedia di sana.

“Yusri!” aku yang meraasa terpanggil, menoleh pada sumber suara. Ternyata ada Kak Salsa di sana. Melihat isyaratnya untuk mendekat, aku pun menurut dan duduk di sebelahnya.

“Rifat mana?”

“Masih di sekre, Kak.”

Aku, Kak Salsa, Kak Elfa dan Rifat. Pengurus OSIS sekbid 10 periode satu tahun ke depan. Itu adalah sekbid sekunderku. Sedangkan di sekbid 8, pilihan pertama ku, ada Randyka dan Bayun yang terpilih di sana. Itu cukup dapat diprediksi, mereka juga anak musik.

Di sekbid 10 ini, aku bahkan tidak mengenal Rifat itu siapa. Percayalah, selama kumpul CPO, aku tidak pernah melihatnya. Dia sekelas dengan Nesa dan Mila, 1 IPS 2. Tubuhnya gemuk dan sedikit menyeramkan. Maksudku, aku tidak berani untuk sekedar memanggil namanya.

“Nanti kamu sama Rifat yang presentasi, ya. Kalo ada pertanyaan, gantian aku sama Elfa.”

“Oke, Kak.”

 

***

Ketua organisasi dan ekstra kurikuler atau yang mewakili pun mulai masuk ke ruang adiwiyata setelah mengisi absensi kehadiran. Ada kurang lebih 30 organisasi dan ekstra kurikuler di SMA ini. Jumlah yang tidak sedikit bukan. Akan tetapi, siswa hanya boleh masuk 1 organisasi saja dan maksimal 2 ekstra kurikuler. Peraturan itu di buat agar siswa tidak di bebani terlalu banyak kegiatan.

Pintu ruang adiwiyata di tutup setelah kepala sekolah dan beberapa guru pembina OSIS masuk ruangan. Acara pun dimulai.

Semuanya lancar, kulihat Kak Englisha dan Kak Wanda, pengurus OSIS kelas 2 yang juga berada di seksi konsumsi, membawa bai berisi snack dan air minum untuk di sajikan pada bapak dan ibu guru di depan sana. Apakah seharusnya aku dan Evi yang melakukannya? Raut wajah mereka sangat tidak mengenakkan.

Akhirnya tiba pada inti acara. Setelah Anin dan Kak Farhan sebagai MC mempersilakan Kak Deni dan Kak Lina untuk maju kedepan, presentasi semua program kerja OSIS pun ditayangkan lewat power point yang di aplikasikan Falah dan Kak Yanuar.

“Selanjutnya, perwakilan dari sekbid 10, kami persilakan,” aku siap. Ya, sudah seharusnya aku siap.

Berjalan ke depan di sela sela meja peserta rapat konsolidasi yang di tata menjadi empat kolom, senyumku mengembang seraya sesekali membenarkan letak kacamata. Sampai di depan, aku menerima mic dari Anin.

“Hi everyone!” itu bukan suaraku. Aku pun terkejut mengapa Rifat tiba-tiba memakai bahasa inggris, “my name is Rifat Mahdavikia,” nadanya terdengar menggantung. Kemudian matanya mengarah padaku memberi kode.

“And I’m Yusriyyah Adibah,” kulihat wajah antusias para kakak kelas itu berharap dari sekbid 10 ini sesuai dengan judul bidangnya.

“Kami disini akan...” dan setelahnya, sahutan kecewa kompak terdengar.

Lihat selengkapnya