Aku Bukan Anak OSIS

Adiba
Chapter #1

1

Putih abu-abu.

Kata yang memiliki sejuta arti kiasan di baliknya. Tergantung pada tinta tujuan kau berada di sana. Bisa jadi romansa atau mungkin pilihan warna lainnya. Judul langkah pertama itu adalah sutradara.

Untuk menjadi pemimpin jalan cerita yang baik, hal yang lebih penting dari alur, pemeran utama.

Aku. Yusriyyah Adibah. Gadis remaja yang akan menginjak usia 16 tahun di tanggal 6 Oktober nanti. Terlalu tua kah jika kusebut diri ini baru saja masuk Sekolah Menengah Atas? Aku pun sering menyesalkan fakta itu. Orang tua ku memilih anak bungsunya ini memulai duduk di bangku pendidikan bersama teman kelahiran 2002. Alasannya karena jika aku diikutkan dengan anak-anak seumuran yang lahir di tahun 2001, aku tergolong muda.

Setidaknya, aku masih berada di angka 15 tahun. Normal bagi siswa kelas 10. Resmi sudah menambahkan siswa SMA di belakang profil identitasku. Suatu masa yang ku tunggu-tunggu akan kebenaran rumornya.

Kuas merah muda yang siap terlukiskan layaknya sinema layar kaca, hingga diperbolehkan jalan-jalan ke pusat kota dan menginap di rumah teman.

Kak Afi selalu membuatku iri karena bisa pergi keluar hingga malam. Sedangkan aku, membeli mie instans di mini market seberang jalan selalu dikhawatirkan apakah aku akan baik-baik saja.

Dan akhirnya. Kini aku adalah siswa SMA. Suatu kewajiban bagiku untuk menuliskan 100 harapan yang muncul dipikiranku kini sebagai remaja pemilik otak siswa berseragam putih abu-abu. Berbarengan dengan cuplikan adegan esok hari, semangat ini semakin membuka impian lama.

Huh, tidak sabar bangun dari tidur dan naik bus yang selalu lewat depan rumah. Menuju tempat yang akan menjadi saksi bisu 3 tahun seorang Yusriyyah Adibah mencapai daftar 100 harapan dalam tulisan jeleknya.

 

***

 

“Hai, boleh aku baris disini?” kepalaku menoleh ke arah sumber suara. Seorang siswi tersenyum tipis itu baru saja meminta izin untuk berdiri di samping kiri ku.

“Iya,” jawabku singkat masih dalam mata tanpa kedip terkejut.

Aku bukan pemeran utama perempuan cantik nan kaya mendekati sempurna anakpemilik sekolah ini. Jangan tinggalkan fakta kalau ini sekolah negeri. Siapa saja bebas baris dimanapun tanpa perlu bertanya begitu. Ya, aku tahu itu hanya sapaan perkenalan awal, tapi aku tak suka orang lain basa basi begitu. Sebaliknya, aku malah orang yang selalu bertanya ini itu pada orang lain. Kau bisa bilang diriku aneh. Aku tidak marah, justru aku menyukainya.

“Namamu siapa?” aku cenderung menjadi orang yang memimpin percakapan. Walau pasti merasa sebal bila berhubungan dengan orang yang aku suka. Kesannya aku adalah wartawan yang ingin tahu banyak hal tentangnya.

“Ami,” sungguh tidak penting sebenarnya, semua orang pasti bisa melihat badge nama yang terjahit di atas saku seragam.

“Aku Yusri,” sebelum Ami balik bertanya, aku mendahuluinya. Oh! Aku lupa. Salah satu harapanku adalah, nama panggilan selama di SMA bukan nama depanku, tapi Adiba. Kau pasti tahu lah alasannya. Tunggu, jika dipikir lagi, banyak juga teman satu SMP ku yang bersekolah di sini. Huh, jadi ya, sama saja.

“Dari SMP mana?” begitulah seterusnya belasan pertanyaan ku lontarkan hingga apel pembukaan persiapan Pengenalan Lingkungan Sekolah di mulai.

Berkumpul di indoor yang luas ini, berbaris sesuai kelas PLS, singkatan Pengenalan Lingkungan Sekolah, yang dulunya lebih dikenal dengan MOS.

Membahas rumor lagi, MOS itu pasti dipenuhi oleh kesibukan. Mulai mencari barang-barang aneh sesuai ketentuan hingga cerita-cerita miring tentang Kakak OSIS yang galak.

Aku punya satu kakak dan dua kakak sepupu. Tak hanya itu, anak tetangga yang umurnya lebih tua dariku, membocorkan kisah MOS di tahun mereka. Berbeda SMA dengan tingkat keribetan perlengkapan MOS yang buat geleng-geleng kepala. Pakai sepatu bertali rafia, tas dari kardus, hingga berkalung dot bayi. Yang terakhir itu paling parah karena sumber kisahnya Kak Angga, siswa alumni dari SMA yang sama denganku.

Hari ini, hanya penyampaian perlengkapan PLS untuk besok senin. Aku tidak terlalu khawatir karena mulut siap mengadu pada komnas HAM ada dimana-mana. Layaknya kacamata hitam sok tahu yang didukung oleh mulut tak mau kalah.

Oh iya, ini pertama kalinya aku memakai kacamata. Sejak SMP kelas 3 mataku buram, baru saat masuk SMA ini aku cek ke dokter. Mata kananku minus 1,5 dan silinder 0,75 sedangkan kirinya minus 0,75 silinder 1,5. Jika kuingat ingat, ulangan harian bahasa inggris dulu pasti menggunakan LCD Proyektor untuk menampilkan soal. Kau tahu? Aku sama sekali tidak membaca tulisan itu karena semuanya hanya garis-garis penuh bayangan. Semakin pusing menatap layar putih di depan kelas, pasrah saja kujawab opsi A, B, C, D sesuai apa yang terlintas pertama kali di otak. Untung saja pilihan ganda, yang mana banyak orang percaya jawaban sebagian besar adalah C.

Itulah berbagai siasat keberuntungan yang terdengar dari mulut anak sekolahan. Namun, tidak ada naskah dewi fortuna untuk masuk kelas PLS terbaik. Di sekolahku ini ada 12 rombel, terbanyak se-Jawa Tengah dengan 8 kelas MIPA dan 4 kelas IPS. Begitu pula dengan jumlah pembagian kelas PLS ini.

Lihat selengkapnya