***
Kasih sayang merupakan hal paling penting dalam perkembangan seorang anak. Semakin besar perasaan cinta yang diberikan oleh orang tua maka semakin baik pula pertumbuhan mereka. Agustus selalu berharap untuk mendapatkan lebih banyak kasih sayang akan tetapi justru kemalangan yang selalu menghampiri hidupnya.
Agustus menjadi pusat perhatian teman-teman sekolahnya. Hari ini Ayahnya seolah mengumumkan sesuatu. Memberitahu kepada semua orang bahwa Agustus adalah anak yang tidak disayangi--hanya beban orang tua. Agustus begitu sedih mendapati teman-teman kelasnya menjauhi anak itu. Tak adakah tempat di dunia ini untuknya? Tak adakah kebahagiaan untuk Agustus? Meskipun hanya sedikit? Agustus mulai mempertanyakan hakikat hidupnya.
Di mana kekuasaan Tuhan yang terkenal pemurah itu? Memang terlalu buruk jika Gus harus menyalahkan Tuhan. Gus tidak pernah berpikir begitu--tidak ingin menyalahkan siapa pun. Mungkin ada rencana lain untuk kehidupan Agustus di masa depan. Kita tidak pernah tahu apa yang akan menimpa kita dalam semenit kemudian.
Mata dan telinga Agustus menjadi saksi nyata saat Alvin dan Haris, teman seusianya berbisik meledek dia. Bahkan dengan terang-terangan merasa jijik padanya. Dua anak lelaki itu menjauhi si kecil Agustus sejak lama. Hal seperti itulah yang membuat Gus merasa sekolah tidak menyenangkan baginya.
Apa salah Gus sampai diperlakukan seburuk itu? Apa Gus bukan manusia? Apa Gus anak yang terbuat dari tepung? Apa Gus terbuat dari telur? Apa yang salah? Manusia terlahir sama. Sama-sama terbuat dari tanah. Apa Gus pernah meminta kepada semua orang bersujud padanya? Apa Gus pernah memerintah orang lain? Jawabannya tidak, Gus bahkan hanyalah anak naif. Tak ingin bicara pada siapa pun karena terbiasa mendengar bentakan. Takut melakukan kesalahan karena ayahnya selalu memukulnya jika berbuat salah.
"Sebelum kita pulang mari kita berdoa dengan keyakinan kita masing-masing. Berdoa dimulai," pimpin Ketua kelas.
Momen seperti ini jauh lebih menggembirakan bagi Agustus. Dia bisa pulang ke rumah dan melupakan teman-teman yang jahat padanya. Jika berteman itu menyulitkan maka sendirian adalah pilihan terbaik untuk Agustus.
Sejenak kelas menjadi hening sampai Januar, si ketua kelas mengakhiri doa. Semua siswa menyalami ibu guru lalu kemudian berlomba keluar dari dalam kelas. Agustus adalah yang paling terakhir keluar dari kelas itu.
Anak kecil itu terbiasa mengalah. Kekejaman ayahnya membuat dia tak bisa bebas menikmati masa kecilnya. Siang hari harus tidur, malam hari harus belajar, dan masih banyak lagi aturan yang diberlakukan ayahnya. Entah itu untuk kedisiplinan ataukah itu karena ayahnya tak ingin orang-orang mengenal Agustus sebagai anak seorang Ben.
"Gus," panggil Ibu Endah.
Agustus berbalik ke arah wanita itu. "Ada apa, Bu?" tanya Agustus polos. Ibu Endah tersenyum padanya. Mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh sang murid. "Ibu punya rejeki buat kamu, Nak. Diambil ya?" Endah menyodorkan uang kertas sepuluh ribu kepada Gus.
Agustus mengamati Ibu gurunya. Mata hitam itu seolah mencari ketulusan di mata Ibu Endah. Gus meragukan kebaikan. Banyak orang yang baik di depannya namun mengatakan hal buruk di belakangnya. Agustus menggeleng. "Ayah akan marah," kata Gus murung. Ibu Endah menyentuh pundak anak itu.
"Ini untuk jajan kamu, Nak. Tadi Ibu lihat hanya kamu yang tidak jajan. Kamu pasti lapar. Diambil ya, Nak. Jangan beritahu ayahmu, oke?" perkataan ibu gurunya membuat Gus tersentuh.
Andai ayahnya bisa sebaik Ibu Endah. Kapan ayahnya bisa memperlakukannya dengan baik? Mungkin suatu hari, saat yang masih sangat lama.
Selembar uang sepuluh ribu itu masuk ke dalam kantong Agustus. Ibu Endah seakan memaksa anak kecil itu menerimanya. Agustus tak bisa menolak lagi. "Terima kasih, Bu," ucap Gus. Dia tidak pernah mendapatkan uang jajan oleh kedua orang tuanya. Dan rasanya berbeda ketika seseorang memberi dia duit. "Sama-sama " Ibu Endah tersenyum simpul. Wanita itu menarik lembut tangan Agustus keluar dari ruang kelas, melangkah untuk pulang ke rumah masing-masing.
"Gus mau diantar sama Ibu?" Ibu Endah menghentikan langkahnya setelah melewati dua kelas yang ber-cat biru nan kumal. Agustus kembali menggelengkan kepalanya. "Gus mau tunggu Kakak," jawab Agustus.
Ibu Endah mengacak rambut anak itu. "Kalau begitu, Ibu pulang dulu ya, Nak." Untuk kedua kalinya Endah tersenyum. Sebuah senyuman yang begitu menedukan jiwa Agustus. "Sambil menunggu Kakak Juli, lebih baik Gus beli makanan dulu. Jangan sampai sakit ya." Endah menasehati.
Gus merasa sesuatu yang hangat menjalar di tubuhnya. Ternyata masih ada orang lain yang menyayanginya selain Kakaknya, Juli. Ternyata masih ada orang yang mau berempati padanya. "Iya, Bu." Gus kehabisan kata-kata. Ibu Endah melangkah pergi. Perhatian dari Ibu Endah seolah menghilangkan rasa lapar yang tadi dirasakan Gus.
Ibu Endah melambaikan tangan pada anak itu. Agustus membalasnya dengan lambaian tangan juga. Kepergian Ibu Endah membuat Agustus harus menunggu sendirian. Dia bisa saja menggunakan uang pemberian Ibu Endah untuk jajan. Tetapi kali ini tidak, dia tidak akan jajan sembarangan. Apalagi uang itu adalah pemberian dari orang yang baik padanya. Sebuah pemberian tak boleh disalahgunakan.
Gus menanti kakaknya dengan begitu sabar. Perbedaan jam belajar antar kelas membuat Gus harus menunggu lama. Kakaknya Juli yang kini duduk di bangku kelas lima, memiliki jam belajar lebih panjang darinya. Tak ada kegiatan, Gus memilih memainkan batu-batu kecil yang ada di sekitarnya. Tertawa sendirian dan berbicara sendirian khas anak kecil.