Innocent Boy

Erwing
Chapter #3

Chapter 3 : Mimpi Buruk

***

Mimpi buruk merupakan peristiwa yang tidak pernah diinginkan oleh siapa saja. Kita cenderung menyukai mimpi indah. Seandainya kita mampu menciptakan mimpi kita maka tak akan ada mimpi buruk di dunia ini.

Agustus bangun dari tidurnya tengah malam. Anak itu bermimpi buruk. Bermimpi jika ayahnya memukulnya lagi. "Tidak--," teriak Gus dengan napas terengah-engah. Gus menangis karena takut. Dia masih menutup mata sambil berteriak-teriak.

Ayah dan Ibunya sampai ikut bangkit dari tidur mereka. Seperti biasa ayah Gus akan gusar. "Berisik, Gus. Kau menganggu tidur semua orang. Sekarang diam!" tegas Ben pada anak itu. Ranti memeluk Gus, berharap anak itu berhenti terisak. "Tidak apa-apa, Nak. Ada Ibu di sini. Tenang ya," hibur Ranti sambil mengelus punggung kecil Agustus.

"Gus takut, Ibu. Gus takut," ucap Gus tak berhenti menangis. Dia terlalu sering dianiaya sehingga perasaan takut itu menghantui Gus sampai ke alam bawah sadarnya.

Berbeda dengan Ranti yang baik, sebaliknya Ben yang sejatinya lelaki kasar dan pemarah sama sekali tak menyimpan simpati pada putranya. "Ayah bilang diam, Gus! Kenapa kau begitu manja, heh? Hanya bermimpi saja sampai membuatmu menangis? Oh Tuhan, kau sungguh memalukan, Gus," bentak Ben.

Suara Ben bagaikan gemuru di telinga Agustus. Dia berusaha untuk diam tetapi tidak bisa. Dia malah sesenggukan karena perasaan gentar. "Diam ya sayang. Jangan buat Ayah marah," bisik Ranti. Dia terus menenangkan Agustus.

Meskipun Gus sudah mencoba menghentikan isakannya, tetap saja air mata terus mengalir, ditambah suara tangisan anak itu tak berhenti bergema. Ben semakin geram karena hal itu. "Kau ini memang Anak pembangkang. Kau tidak mau mendengar Ayah? Kau berani membantah Ayah? Diam sekarang anak sialan!" teriak Ben lagi dan lagi.

Bentakan itu justru membuat Agustus menangis keras. Bukannya tenang, Gus malah semakin tertekan. Tidak adakah rasa sayang Ben untuk anak itu? Tidak bisakah Ben menghiburnya saat ini? Terlalu menyakitkan bagi Agustus mendapati kenyataan pahit ini. "Tidak mau diam? Sini kau, anak sialan. Kau harus diberi hukuman karena tidak mendengar. Sini kau anak sialan!" geram Ben menarik paksa tangan putranya turun dari ranjang.

"Jangan hukum, Agustus. Tolong," ucap Ranti memohon. Ben menoleh ke arah istrinya dengan mimik marah. "Kau membela anak tak tahu malu ini? Kau senang mereka mengganggu tidur para tetangga? Menjadikan kita bahan gunjingan, setiap hari?"

 Ben mengucapkan kalimat itu setengah berteriak. Matanya melotot sempurna memandangi istrinya. Tulang pipinya mengeras--menandakan dia sedang murka. "Agustus hanyalah aib untuk kita. Dia hanya akan bikin kita malu saat sudah besar. Dia adalah replika Anton. Dia seorang banci. Dia tidak akan membuat hidup kita bahagia," gumam Ben.

Ranti menggeleng. Dia tidak menyangka kalau suaminya akan bicara seperti itu. "Teganya kau bicara seperti itu mengenai darah dagingmu sendiri." Air mata bergulir di pipi wanita itu. Rasanya seakan ada tombak yang merobek hatinya dengan paksa. Tidak ada ibu yang mampu mendengar orang lain menjelek-jelekkan putra mereka.

Lihat selengkapnya