Namaku Kanaya, aku adalah salah satu wanita yang menghuni salah satu unit flat di kawasan ini. Aku baru saja pulang dari kantorku. Tadinya aku mau segera masuk ke flat, tapi karena Nasha berkata ingin mengajakku makan malam, lebih enak nunggu dia sembari menghirup udara malam. Aku menyadarkan tubuh bagian depanku ke dinding penyangga. Kedua sikut tanganku menahan bobot tubuhku. Aku menarik oksigen pelan-pelan, rasanya dingin menembus bulu-bulu halus hidungku. Astaga aku rindu berlibur. Aku membuka mata lalu dikejutkan oleh kain putih yang tengah berayun-ayun di udara?
“Itu apa?” tanyaku dalam hati.
Aku membeku sejenak. Sebab setetes darah baru saja jatuh ke permukaan punggung tanganku. Kakiku dengan cekatan berlari ke lantai atas. Mataku membelak, tubuh seorang wanita paruh baya melengkung kaku di dinding depan pintu. Kepala wanita itu menghadap ke bawah, rambut panjangnya menjuntai bebas, tapi tidak sepanjang syal putih bercorak bunga yang melilit lehernya.
“Apakah dia sedang menikmati pemandangan?” gumanku dalam hati. Tidak, dasar bodoh! Siapapun yang melihat wanita ini selain aku juga pasti bisa menebak kalau ia sudah mati hanya dengan selayang pandang.
Aku bimbang harus mendekat atau tidak. Tidak ada siapapun di sini. Ada satu CCTV yang tepat mengarah ke sini tapi lampunya tidak menyala. Apa yang harus aku lakukan?
Aku menghampiri wanita itu. Bootsku berdercit, decitannya menggema memecah keheningan malam.