“Apa yang terjadi Bu? Apa maksudnya Tobi hilang?” Tanya suamiku dengan nada mengebu-ngebu. Peluh keringat membanjiri wajah dan ceruk lehernya, pertanda dia cepat-cepat pulang.
Aku bingung jawaban apa yang harus aku berikan, pasalnya aku juga tidak mengerti apa yang terjadi. Aku hanya bisa menceritakan apa yang aku lihat sepulang dari mengajar les.
Namaku Amurti, seorang ibu dari dua anak laki-laki juga isteri dari pria di hadapanku ini. Sore ini ketika aku pulang, Tobi tidak ada di dalam rumah. Aku memanggilnya serta mencoba untuk menelepon anak itu, sayangnya gadgetnya ada di dalam kamarnya.
Saat aku mencari Tobi ke penjuru flat kami, aku malah menemukan puteraku Daren sedang tertidur di kamar mandi dengan posisi duduk di atas kloset duduk yang tertutup bersama selimut, mainan, dan botol susu kosong. Aku ingin bertanya kepadanya mengapa dia di sana. Tapi sepertinya itu akan percuma saja, karena anak bungsuku ini bisu dan masih berumur tiga tahun. Selama ini pun bahasa isyarat yang dia kuasai masih sangat sedikit sekadar tahu berkata makan, berterimakasih, meminta mainan dan makanan yang dia inginkan juga berkata ingin buang air. Bahkan bila dia bisa berbicara pun aku yakin dia juga akan sulit menjelaskan apa yang terjadi padanya.
Tobi putera sulungku adalah anak yang sedikit malas, tidak punya banyak prestasi, penurut, bertanggung jawab juga aku yakini tidak bodoh meninggalkan adik kecilnya sendirian di dalam rumah. Meskipun dia sering kesal karena adiknya yang ingin bermanja-manja padanya, selama ini dia melakukan tugasnya sebagai kakak dengan sangat baik. Karenanya aku mencoba berpikir positif bahwa dia hanya pergi sebentar dan akan kembali sebentar lagi. Tapi sayangnya, sudah empat puluh tiga menit aku menunggu, Tobi tak kunjung kembali.
Aku khawatir puteraku kenapa-kenapa, karena sebulan yang lalu ada dua perempuan yang ditemukan tewas di dekat kawasan ini. Salah satu perempuan yang tewas itu ialah salah satu penghuni flat lantai bawah, kalau tidak salah namanya Kanaya.
Sebelumnya selama dua tahun terakhir, aku kadang berpapasan dengan Kanaya. Tidak seperti kebanyakan anak-anak muda sekarang yang individualis, walau tak mengenalku dia selalu memberiku senyum dan mengatakan permisi bila melewatiku. Gadis ini dibunuh dengan cara yang tidak manusiawi. Gadis dewasa yang terlihat baik seperti itu saja bisa terbunuh dengan cara sadis, apalagi anakku yang masih berumur 16 tahun.
“Sudahlah Bu, Tobi mungkin sedang pergi sebentar keluar, mungkin bentar lagi dia pulang,” ucap suamiku santai.
“Ayah nggak ingat kejadian anak gadis yang tinggal di lantai bawah? Pembunuhnya belum ditangkap Yah! Gimana kalau nanti terjadi apa-apa gimana?”
“Apa-apa, gimana? Maksudmu anak kita dibunuh begitu?”
“Yah, jangan ngomong begitu, tapi…”
“Ayah juga khawatir sama Tobi. Tapi tadi pagi ayah beri dia uang buat beli peralatan sekolah katanya.”
“Beli peralatan sekolah dengan cara ninggalin adiknya sendirian di rumah terus, nggak pulang selama sejam?” Tanyaku dengan nada meninggi.
Aku sedikit menoleh aku melihat Daren sedang memeluk sambil meremas lengan bonekanya erat. Dia tampak sedikit ketakutan. Astaga seharusnya kami tidak bertengkar seperti ini dihadapannya.
“Begini saja, ayo coba tanya Daren dulu.” Titah suamiku.
“Nak, maaf ya Ibu sama Ayah berantem. Daren ibu mau tanya, kakak kamu tadi yang bawa kamu ke kamar mandi?”
Daren menggeleng. Suamiku mendekat, “Kamu pergi sendiri ke kamar mandi?”
Daren mengangguk.