Lonceng pulang berbunyi. Riuh rendah suara do'a bersahutan sebelum semua siswa berhambur keluar. Kadang kami memilih berdesakan dari pada sabar menunggu koridor lengang. Entah, selalu ada kebahagiaan saat melangkah bersama yang lain menuju rumah.
Seolah beban bertumpuk itu tertinggal di laci meja sekolah atau bahkan tercecer di jalan. Eit, jangan ditiru, ya! Itu kata murid bodoh sepertiku yang sering kesulitan memahami pelajaran. Buktinya, Sahabatku Deasy selalu bersemangat mengerjakan tugas-tugas PRnya. Deasy memang selalu juara! Hebat, dia.
Tapi aku juga bersemangat, kok, untuk berangkat ke sekolah. Sssttt, jangan bilang-bilang, ya. Aku lebih kangen teman-teman dan jajanan di kantin daripada hal lainnya.
"Mita, lihat deh Bagas," bisik Deasy sambil menyenggol lenganku.
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Deasy. Katanya dia sering memperhatikanku. Entahlah. Mungkin dia menyukai rambut ekor kudaku. Hehe. Rambutku memang hitam, tebal dan panjang. Kata teman-teman bagus. Apalagi Emak sangat suka menguncirnya, mengepang bahkan membuat seperti sanggul pramugari. Kata Emak, biar aku ketularan bisa naik kapal terbang, Aamiin.
Kembali ke anak laki-laki berseragam biru putih dengan celana selutut. Dia berdiri di samping gerbang seperti menunggu seseorang. Kebetulan saat aku menoleh, dia menatapku dan melempar senyum tipis. Aku juga tersenyum, dong. Lebih lebar malah. Soalnya kata Emak, senyum itu sedekah. Kalau senyumku lebar nanti pahalanya lebih banyak, kan?
Kami melewatinya, tapi tak saling bertegur sapa. Ohya, kami berlima. Deasy, Ratna, Sari, Ayu dan Aku; Asmita.
Rumah kami cukup jauh dari sekolah. Kami pulang pergi berjalan kaki. Capek? Enggak. Selain sudah terbiasa, sepanjang jalan kami bercengkrama. Bercanda, tertawa juga berbagi cerita.
Kami berlima punya kebiasaan unik. Rasanya hanya kami yang melakukannya setiap datang dan pulang sekolah. Mau tahu? Nih, sebentar lagi akan kami lakukan. Caba perhatikan!
Langkah kaki kami hampir mendekati perbatasan jalan aspal ke jalan bebatuan. Itu jalan menuju desa kami.
"Siap! Satu, dua, tiga." Hari ini giliran Ratna memberi aba-aba.
Kami berlima membalikkan badan, mengangkat tangan kanan dan melambaikannya.
"Terima kasih sekolahku. Sampai jumpa besok." Suara kami kompak. Entah siapa pencetusnya. Aku lupa. Tapi ini sudah berlangsung lebih dari dua tahun.
Area jalan bebatuan sudah tak terlalu banyak orang, juga sedikit lalu lalang kendaraan. Makanya kami berani berlari.
Suara hentakan sepatu yang beradu dengan bebatuan membuat kami lebih bersemangat. Kami masih berlari ketika Ayu tiba-tiba bersuara cukup keras.
"Eh, tahu enggak. Hari ini pohon-pohon besar tempat kita bermain akan ditebang," kata Ayu dengan napas sedikit tersengal.
"Masa, sih?" Sari tampak terkejut. Dahinya terlihat berkerut-kerut. Dia yang berada di paling depan sampai berhenti, makanya kami semua ikut berhenti.
"Iya. Bapakku yang diminta menebang pohon oleh Pak Hardi."
Kami sama-sama terdiam. Seperti ada rasa sedih kehilangan tempat bermain. Pohon-pohon Albasia berbatang besar itu biasa menjadi tempat sembunyi saat petak umpet. Di sana juga terpahat nama-nama orang yang kami suka sampai yang paling tidak kami suka. Kami melampiaskannya pada batang albasia. Bahkan, baru dua minggu kami membuat ayunan kayu. Kalau pohon itu ditebang juga, artinya ayunan itu tinggal kenangan.
Tapi rupanya lain dengan cara pandang Deasy. Dia tiba-tiba berkata, "Jangan sampai kita kehilangan moment. Ayo kita saksikan robohnya tempat bermain lama kita!" ucapnya menghangatkan darah kami yang terasa membeku oleh kejutan tak menyenangkan.
Deasy berlari duluan. Namun dia terpaksa berhenti dan kembali ke arah kami. Dengan gemas dia berkata, "Daripada kita terpaku di sini dan tahu-tahu semua kenangan kita sudah dirobohkan?" tandasnya.