Aku, Buku & Rindu

An Purbalien
Chapter #2

BAB 2. Huruf yang Beterbangan

Aku menyukai saat-saat seperti ini. Jam kosong. Beberapa siswa bertamu ke meja lain dengan menggeser kursinya. Tidak teratur memang. Tapi suasana justru hidup dan hangat. 

Ada yang sekadar mengobrol, tebak-tebakan, juga ada yang menyanyi sambil tangannya mengetuk-ngetuk meja sebagai musik. Yang terakhir ini asyik, tapi kerap menimbulkan kegaduhan bahkan kemarahan dari kelas tetangga.

Tapi, tumben guru kelas sebelah belum ada yang ke sini dan melabrak kami yang gaduh. Tiba-tiba pintu terbuka, anak-anak terkejut dan beberapa sigap menggeser kursinya, kembali ke tempat semula. 

Perempuan cantik berkacamata dengan tumpukan buku didekap di dada masuk ruangan. Dia menoleh sekilas, namun kembali melangkah mantap menuju kursi guru. 

"Selamat pagi, Anak-anak," sapanya menyapukan pandangan ke seluruh penjuru kelas.

Sahutan para siswa menggema di seluruh ruangan. Kecuali aku. Aku diam saja. Karena bagiku kadatangannya saja sudah membuat pundakku bagai memikul berkilo-kilo beban.

Namanya Bu Dyah. Guru bahasa Indonesia. Aku selalu tertekan ketika bertemu beliau di kelas. Mengapa? Karena dialah yang kurasa paling galak di sekolah ini.

"Ohya, ini buku tugas kalian minggu lalu." Bu Dyah memberikan setumpuk buku siswa pada ketua kelas dan memintanya membagikan pada pemiliknya. "Bu Guru rasa kalian sudah cukup paham bagaimana mencari berbagai informasi di dalam text." Bu Dyah tersenyum puas, "Kecuali satu!" Nada suaranya tiba-tiba berubah. "Asmita!" panggil Bu Dyah. 

Aku langsung mendongak. Rasanya bagai tersengat sesuatu yang panas. "Ya, Bu?" sahutku gelagapan.

"Saya heran sama kamu, makanya kalau diajar perhatikan. Masa, suruh mencari ide pokok paragraf saja tidak bisa! Padahal kebanyakan paragraf deduktif, bagaimana kalau soal yang lebih sulit lagi?" keluhnya.

Aku tertunduk. Kebetulan Momon sang ketua kelas baru sampai di mejaku. Buku bergambar Winny the Pooh mendarat manis di sebelah tanganku. Karena penasaran aku segera membuka lembaran terakhir yang berisi tulisan. Ya, hanya tiga nomor yang benar dari sepuluh soal yang diberikan. Aku tidak terkejut. Karena ini soal essay, jadi aku tak bisa mengarangnya. 

"Karena hanya kamu yang berada di bawah KKM, sekarang kamu harus membaca nyaring di depan kelas!" perintahnya lantang. 

Wah, itu rasanya seperti tersengat listrik! Mendadak seperti ribuan jarum panas menusuk-nusuk perutku. Tapi aku tak bisa mengelak. Apalagi tatapan mata itu tajam mengarah padaku.

Aku berjalan seperti mengambang di bumi. Berdiri di depan kelas, sedikit bergeser ke kiri, tepatnya di samping bendera tak jauh dari pintu. Belum ada sepatah kata pun keluar dari mulutku, tapi teman-teman sudah tertawa riuh. Mungkin karena rasa nervousku sehingga buku di tangan bergetar hebat. Mataku nanar menatap huruf-huruf yang bergerak berpindah tempat. Aku mencoba menangkap dan menghentikan mereka agar berada di tempat yang tepat.

Aku mengeja dan mengucapkan kalimat dengan susah payah. Walau aku sendiri tak paham dengan apa yang kubaca tetap kulanjutkan. Apalagi Bu Dyah belum menyuruhku berhenti.

Gelegar tawa terus menggema. Ah, apa peduliku. Sudah biasa, sepertinya caraku membaca menjadi hiburan tersendiri buat mereka. 

Lihat selengkapnya