Aku, Buku & Rindu

An Purbalien
Chapter #3

BAB 3. Pelampung

Kakak-kakak berjas kuning keluar dari ruang kelas. Dua jam pelajaran terasa hanya sekejap. Mereka menyenangkan. Lima mahasiswa KKN dada dada ketika meninggalkan kelas. Senyum semringah terkembang saat kami sorak sorai enggan ditinggalkan. 

Beberapa anak sampai naik ke kursi demi melihat punggung mereka menjauh. Aku juga mengintip dari kaca jendela. Rasanya gemas melihat mereka melangkah dengan rasa puas dan senyum bangga terpancar di wajah. Aku membayangkan senangnya jadi mahasiswa. Tapi kalau bodoh sepertiku apa tetap bisa?

Pelajaran terakhir. Aku mencoba konsentrasi mendengar penjelasan Pak Budi. Tapi dari pada pusing harus menghapal sederet nama dan tanggal peristiwa, aku justru menembus dimensi ruang dan waktu melalui khayalan tingkat tinggiku. 

Aku melihat wajahku yang manis, dengan rambut hitam tebal sebahu mengenakan jas kuning berada di tengah bangunan tanpa tembok. Atapnya ditopang empat tiang kayu berukir dengan plitur warna coklat. Lantai keramik putih menjadi tempatku dan beberapa siswa berselendang di pinggang memeragakan beberapa gerakan. Rupanya aku tengah mengajari mereka menari.

Namun rupanya ada yang menyadari tubuhku di kelas namun jiwaku tak hadir. Mereka mengusik kesenanganku. Aku sampai terkejut ketika Ratna menyikut lenganku. Aku tergeragap, ternyata Pak Budi dan yang lain tengah menatapku. Saat kesadaranku kembali, aku baru tahu, rupanya mereka tengah memerhatikan dan ramai-ramai tersenyum ke arahku. Aku bingung menyambut senyum mereka, namun akhirnya kuputuskan juga untuk membalas.

Sebuah pertanyaan diulang. Tapi mana aku tahu jawabannya? Kan pikiranku sedang di awang-awang. Pak Budi sangat gemas karena kalimat yang kulontarkan bukan jawaban yang diinginkan. 

"Tidak tahu, Pak," jawabku simpel. Seperti jawaban 'pas' ketika cerdas cermat. 

Aku pikir itu akan mempersingkat durasi, ternyata salah. Justru durasi untukku jadi sangat lama. Pak Budi menggunakan waktu yang tersisa untuk menceramahiku. Aku bete dong. Tapi mau bagaimana lagi? Untungnya aku tak bisa mengingat hal-hal panjang seperti itu. Jadilah hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Yang jelas teman-teman senang. Pak Budi jadi lupa mengajar. Mereka berharap beliau lupa juga memberi pekerjaan rumah seperti biasa. Sayangnya, tidak.

Bel pulang berbunyi. Kami merapalkan do'a sebagaimana hari-hari lainnya. Aku dan teman-teman berdesakan. Berebut siapa dulu yang mencapai gerbang. Tentu saja pemenangnya yang selesai berdo'a pertama. Apalagi kalau ruangannya bukan paling ujung seperti kelasku. 

Tumben, hari ini Bagas tak ada di tempatnya. Tak ada siapapun berdiri di dekat gerbang. Aku sampai menoleh mencari-cari, barangkali dia tertinggal di belakang, diantara kerumunan. 

"Kenapa? Cari siapa?" tanya Deasy. 

"Enggak, cuma lagi ngecek. Ternyata siswa sekolah kita banyak, ya?" Aku berbohong. Masa terlalu jujur. Malu.

"Hei, kami tadi di ajar mahasiswa," kata Ratna bangga. 

"Kami juga," sahut Sari tak mau kalah. 

"Kita lewat rumah Pak Lurah, yuk," ajak Ayu. 

Aku menautkan alis. Lewat rumah Pak Lurah artinya mengambil jalur memutar. Mengapa harus melewati gang rumah sendiri? Pikirku itu lucu. 

"Ayo!" Deasy menyahut semangat. 

Kalau Deasy sudah setuju, apapun pasti jalan. Dia seperti kapten di kelompok kami. Semangatnya yang selalu berkobar membuat kami tertular. 

Seperti biasa kami lari-lari di jalan berbatu. Meski terengah-engah, kami masih berbagi cerita. Pembahasannya masih tentang Kakak-kakak mahasiswa. Tentu saja mereka menyebut nama. Celakanya, aku tak paham siapa yang sedang mereka bicarakan. 

Aku memang sulit menghapal wajah dan nama orang asing. Bahkan ketika sudah beberapa kali bertemu. Kira-kira butuh sepuluh kali tatap muka aku baru bisa memahaminya. Itupun kalau pembahasannya cukup pribadi. 

Ohya, ada satu yang aku ingat dari Kakak mahasiswa tadi. Kakak berambut ikal yang melompat seperti kelinci.

"Stop, sudah, sudah jangan lari!"

Lihat selengkapnya