Rasanya kami adalah lima ABG paling bahagia di desa ini. Aku dan sahabat-sahabatku berjalan menuju rumah Pak Lurah. Kata Mba Cantik mulai hari ini latihannya sore hari saja, biar suasananya adem. Lagi pula, nanti sudah memakai musik. Jadi tidak mengganggu orang-orang istirahat siang.
Kami berjalan sambil bercengkrama. Sekali-kali tangan kami mengibaskan kerudung panjang yang diikatkan di pinggang. Ohya, Kakak pelatih kami sebenarnya meminta kami membawa selendang. Tapi kami tidak punya. Makanya kami bawa kerudung panjang. Toh, fungsinya sama saja.
Kalau kata Bu Dyah tidak ada rotan akar pun jadi. Hehe, ternyata pelajaran bahasa Indonesia ada yang nyangkut juga di kepalaku. Ya iyalah. Bagaimana nggak nyantol, pepatah itu sering diucapkan Bu Dyah kalau sedang gemas. Contohnya disuruh membuat tabel. Anak-anak malah ngobrol, alasannya antre penggaris. Terus Bu Dyah menunjukkan pakai pinggiran buku juga bisa. Nah, saat seperti itulah pepatah tersebut bakal terlontar.
Benar, sore hari memang suasananya lebih menyenangkan. Selain kami sudah sempat istirahat, kami juga sudah mandi. Jadi segar dan wajah kami tidak kucel lagi. Malu, kan. Bertemu kakak-kakak ganteng dan cantik, kok lecek.
"Satu, ukel," ucap Ratna sambil memutar pergelangan tangan disertai jari-jari yang bergerak lentur.
"Ngiting," tambahnya. Ratna memang sangat bersemangat menghafal nama-nama gerak tarian dasar. Aku menirukan menggerakkan tangan dengan ibu jari dan jari tengah direkatkan.
"Nyempurit," sahut Ayu tak mau kalah. Kami bersama-sama mengayunkan tangan dengan jari telunjuk dan ibu jari disatukan.
"Aku bingung istilah nomor empat sama lima, lho," keluh Sari.
"Ngrayung sama Ngrekoto. Gerakannya lupa juga?" ledek Ratna.
"Nggak lah. Yang keempat ibu jari ditekuk, empat lainnya rapat lurus. Ya, kan?" Sari menoleh pada Ratna menunggu persetujuan.
"Terus yang satu lagi?" selidik Ayu.
"Gampang. Ibu jari sama telunjuk ditekuk, sisanya rapat dan lurus. Begini, nih." Sari melakukan sebuah gerakan seperti yang dia terangkan.
Aku memang tidak ikut bicara karena masih belum juga hafal nama-namanya. Kecuali ukel. Yeee, setidaknya aku sudah hafal satu. Tapi tenang saja. Semua gerakan teman-teman aku ikuti agar tarianku nantinya bertambah luwes.
Deasy juga tidak nimbrung di pembicaraan. Katanya, dia sudah tidak perlu ingat-ingat itu. Toh dia dapat bagian baca puisi. Dan ini lebih dinikmati daripada terpaksa seperti kemarin.
Tak terasa kami sudah sampai di halaman rumah Pak Lurah. Tumben, teras keadaannya sepi. Tak ada seorang pun di luar.
"Permisi, Mba Widya ada?" Deasy memanggil di luar pintu.
"Iya, sebentar, Dek," sahut sebuah suara dari dalam.
Tak berapa lama si kakak mahasiswa berjalan menuju teras sambil memasang kerudungnya. Hehe, mungkin aku usil. Tapi jujur, aku penasaran Si Mba rambutnya seperti apa?
"Wah sudah pada cantik," pujinya. "Yuk, bantu kakak angkat salon dulu."
Aku dan Ratna segera masuk ke ruang tamu, kemudian ke ruang dalam mengikuti kakak mahasiswa. Ternyata rumah Pak Lurah sangat bagus. Aku dan Emak pernah sekali bertamu dan kagum dengan kursi juga lampu hias yang tergantung di atap. Ternyata bagian dalamnya lebih mewah lagi. Sebuah ruang keluarga yang luas dengan lampu gantung lebih besar, sofa yang sepertinya sangat empuk, juga televisi berukuran sangat lebar yang menempel di dinding. Televisi Pak Lurah tipis, berbeda dengan televisi di rumahku yang gemuk tapi layarnya tidak terlalu lebar.
Kakak berjilbab menunjuk sebuah salon di dekat rak televisi. Aku dan Ratna mengangkatnya bersama. Kami melakukannya dengan hati-hati. Apalagi Ratna berjalan mundur. Lega juga ketika sampai di teras. Kami meletakkannya di samping kursi.
Kakak berjilbab muncul dengan rol panjang untuk mengambil aliran listrik. Tombol power pada salon diaktifkan.
"Ok, tarian kalian akan diiringi irama lenggang kangkung. Pernah tahu?" tanyanya.
Kami saling pandang kemudian menggeleng bersama. Kompak, padahal tidak memakai komando.