Aku tiba di rumah menjelang matahari tenggelam. Pintu yang tertutup kudorong sedikit keras. Padahal tidak dikunci. Pintu terbuka dengan suara berderit.
Ketika kakiku melangkah masuk, seekor kucing berbulu lembut tampak berlari dari arah dalam. Dia Si Manis. Kucing kesayanganku. Sepertinya dia sengaja menyambutku.
"Hallo, Manis," sapaku dengan langsung membopongnya. Kuelus pipinya. Kupeluk dan kutempelkan ke dada.
"Kamu kangen, ya?" tanyaku gemas sambil menatap matanya.
Yee, manis menjawab meong. Artinya iya, dia juga kangen.
"Dari mana saja? Anak gadis kok pulang sampai jam segini?"
Emak tiba-tiba muncul dari kamarnya. Di tangan ada kain yang sedang dilipat. Emak memang punya beberapa lembar kain. Selain dipakai untuk gendong bakul berisi botol-botol jamu, Emak juga biasa memakainya untuk dipadukan dengan kebaya.
Ohya, Emakku cantik. Kulitnya kuning langsat, hidungnya mungil. Kadang orang-orang meledekku bukan anak Emak. Katanya aku anak angkat yang ditemukan saat kali banjir. Ih, aku sebal!
"Ditanya kok nggak jawab," tegur Emak.
"Eh, Mita habis belajar nari, Mak!" Aku membawa Manis duduk di kursi makan.
"Tari apa?" selidik Emak.
"Tari lenggang kangkung. Jadi begini," kataku sambil membetulkan posisi dudukku agar lebih nyaman. "Asmita dan empat teman lainnya diminta tampil untuk acara perpisahan KKN. Aku, Ratna, Sari, Ayu ikut menari. Kalau Deasy ikutnya baca puisi."
"Ohya?" sahut Emak pendek.
"Makanya, nanti kalau perpisahan Emak harus hadir," kataku bersemangat. "Mulai sekarang Emak jaga kesehatan, biar nggak mudah sakit, biar nanti bisa lihat Mita menari di panggung."
"Jangan khawatirkan Emak. Yang penting kamu bisa urus dirimu sendiri, biar Emak juga tidak khawatir."
"Siap!" jawabku bersemangat. "Daaa, Emak. Mita ke kamar dulu," pamitku.
Di kamar, kami rebahan. Aku dan Manis tiduran dalam posisi miring berhadap-hadapan. Kepadanya aku bercerita apa saja. Tentang latihan menariku tadi sore. Tentang Bagas yang tak sengaja memergokiku menari. Juga tentang Kakak gondrong yang berjanji akan mengajariku membaca.
Lelah pada posisi itu membuatku bangkit dan duduk bersila.
"Manis, kayaknya enak kamu yang jadi kucing. Huh! Di dunia manusia tuh ada yang namanya bullying. Di dunia binatang nggak ada, kan?" tanyaku mengajak dialog hewan kesayanganku. Eh, dia hanya menatapku dengan iba. Sepertinya dia tahu penderitaan tuannya.
"Tapi... enggak juga, ya? Di dunia hewan kan ada predator?" Aku meralat kata-kata ku soalnya baru ingat. "Wih, berarti kamu beruntung di sini sendirian. Ya, setidaknya selamat dari predator dan pembullyan."
Kali ini Si Manis menjawab dengan meongannya. Kayaknya dia ngerti apa yang aku katakan. Soalnya pas banget kapan dia meong dan kapan memilih diam.
"Sebenarnya aku capek dianggap bodoh, dianggap malas belajar. Menurut kamu aku malas belajar enggak, sih?"
"Meong," sahut Manis.
Aku mendelik dong. Masa, sih, dia tidak berpihak padaku. Masa, aku dikatain malas.
"Ih, kamu kok gitu?" Aku cemberut. Lagi-lagi Manis hanya menatapku. Gemas juga karena tatapannya seperti tatapan tak berdosa.
Namun aku segera menyadari meongan Si Manis ada benarnya.
"Oh iya, kamu kan tahu, kalau aku belajar enggak bisa lama, ya, Nis. Aku kalau ketemu buku ngantuk. Baru sebentar, Eh, sudah ketiduran." Kali ini aku mengucapkannya dengan tertawa.
Kami bercakap sampai malam. Sampai suara jangkrik di samping rumah terdengar. Sampai lolongan anjing hutan bunyi di kejauhan. Lalu kami sama-sama terlelap.
***
Kami berlima kembali ke rumah Pak Lurah. Kali ini Deasy yang latihan. Soalnya Kakak cantik sedang ada urusan di kantor kecamatan.
Kami berpencar. Aku memilih bersandar pada tiang segi empat yang menjulang. Sementara Ayu dan Ratna sedikit menyingkir. Mereka ngobrol. Entah apa yang sedang dibicarakan. Soalnya suaranya lirih. Sedikit berbisik. Sari tak jauh dari posisiku. Dia bersandar di tembok sebelah kursi.
Sebetulnya dua kursi di teras rumah Pak Lurah kosong. Tapi tidak sopan, kan. Kalau yang muda duduk di atas sementara ada orang yang lebih tua duduk di bawah.
"Jadi, mau yang mana, nih, Kak Arya? Aku bingung," keluh Deasy.
"Kamu bisa coba dari yang paling kamu suka, suka, agak suka," sahut Kak Arya.
Kakak gondrong itu sedang memuntir-muntir besi kecil pada gitar bagian atas. Aku tak tahu namanya. Aku juga nggak tahu apa gunanya? Jadi jangan suruh aku menjelaskan.