Aku membuka mata perlahan. Tempat tidurku yang menghadap jendela membuat cahaya keemasan mengarah langsung ke mataku. Silau. Ternyata matahari sudah terbit. Aku terburu-buru ke kamar mandi. Panik.
"Aduh, terlambat, nih! Kesiangan ini. Bisa ditinggal teman-teman," mulutku terus nerocos sambil terburu-buru berjalan ke kamar mandi.
Di dekat dapur aku dan Emak hampir bertabrakan.
"Ya ampun, kalau jalan lihat-lihat, Mita!" tegur Emak.
Aku berhenti sejenak. "Aduh, Mita telat nih belajar narinya. Emak nggak bangunin Mita, ya?!"
"E, main tuduh! Sampai dower bibir Emak panggil-panggil nama kamu! Daripada buang energi percuma, ya sudah!"
Jawaban Emak malah sadis banget. Rupanya beliau nggak terima dituduh seperti ibu yang enggak peduli pada anak semata wayangnya. Daripada memancing keributan, ya, sudah. Aku langsung masuk ke kamar mandi.
Baru saja menyampirkan handuk, aku berdiri mematung menunggu Emak kembali lewat. Tapi yang ditunggu enggak sadar, tuh. Malah cukup lama enggak nongol-nongol.
"Maaaaakkk," panggilku cukup kencang.
"Apa lagi? Belum bawa handuk? Kebiasaan!" omel Emak. Eh, akhirnya beliau muncul juga.
"Bukan, Mak."
Emak yang penasaran terpaksa menoleh ke arahku. Aku memperhatikan Emak. Pagi begini beliau sudah rapi. Pakai kebaya warna hijau dan tapih kain jarik. Sedikit pulasan lipstik membuat Emak terlihat cantik.
"Emak mau jualan? Memangnya sudah sehat?" selidikku.
"Kalau Emak nggak jualan nanti kita masak apa? Terus buat biaya sekolah kamu, bagaimana?"
Hehe, aku cuma bisa nyengir kuda. Aku masih berdiri memperhatikan Emak yang sibuk mengangkat bakul ke atas kursi makan, kemudian sedikit repot menggendongnya.
"Emak berangkat. Nanti kalau pergi, rumahnya dikunci, ya," pesan perempuan yang paling aku banggakan.
"Iya, Mak. Hati-hati."
Aku menutup pintu kamar mandi dan segera membersihkan diri. Aku berdandan super kilat. Kasihan kalau teman-teman menungguku terlalu lama.
Aku segera mengunci pintu rumah. Berjalan menuju rumah Deasy sambil berdendang lagu lenggang kangkung. Tapi hanya nadanya, karena liriknya aku belum hafal.
"Pasti baru bangun!" todong Sari begitu melihatku muncul.
Aku hanya tertawa. Buat apa mengelak apalagi sampai berbohong.
Ternyata mereka hanya tinggal menungguku. Jadilah kami langsung cabut.
Sampai di rumah Pak Lurah, kami segera berlatih. Deasy dan Kak Arya menyingkir, mereka duduk pada kursi bambu di bawah pohon kelapa. Sementara kami di halaman, tak jauh dari Bungan Bougenville.
"Baik, masih ingat, kan, bagian pembuka?" tanya Kak Widya.
Kami mengiyakan. Ketika musik tradisional mulai dinyalakan, kami mulai menarikan lenggang kangkung sejak awal masuk, sampai bagian terakhir yang diajarkan Kak Widya.
"Siiip, kalian keren! Langsung hafal, juga kompak!" puji Kak Widya. "Sekarang Kakak tambahkan yang berikutnya, ya."
Kak Widya mencontohkan gerakan, sementara kami menirukan.
Lenggang lenggang Semarang
Lenggang Semarang pinggul digoyang
Cari teman jangan sembarang
Salah jalan sayang disayang
Putih burung merpati
Jauh terbang ke langit tinggi
Pilih teman sejati
Susah senang selalu sehati
"Untuk bagian intro, kibaskan selendang di tangan kanan dan kiri bergantian." Kak Widya memperagakannya sejak berdiri sampai duduk.