Aku, Buku & Rindu

An Purbalien
Chapter #8

BAB 8. Menulis di Atas Pasir

Aku kira Kak Arya akan meramal ketika meminta telapak tangan kananku dijulurkan. 

"Sini tangannya," pinta Kak Arya. 

Aku sempat ragu, tapi akhirnya Kakak berambut gondrong itu meraihnya sendiri. Tangan kirinya memengangi tanganku dan telunjuk tangan kanannya menuliskan huruf-huruf yang harus ditebak.

Kak Arya juga mempraktikkan membuat kulit kacang. Hehe, lucu istilahnya ya? Habis bentuknya sedikit mirip dengan kulit kacang, sih. Tepatnya seperti angka delapan, tapi tidur, bukan berdiri. Atau seperti kacamata. Garis itu kakak ulang-ulang dan bola mataku diminta mengikuti gerakan garis yang ditarik telunjuk Kak Arya. Mungkin kalau divideo mataku terlihat lucu!

Kalau kulit kacangnya tadi dilukis di udara, sekarang Kak Arya mengulanginya di atas buku tempat aku menuliskan abjad. 

Eh, ternyata tak hanya itu. Di atas angka delapan tadi Kak Arya juga menuliskan beberapa huruf secara bergantian. Dan lagi-lagi, aku disuruh menebaknya. Biarpun sudah kelas IX ternyata masih saja ada abjad yang aku salah tebak. 

Sekarang giliran aku yang membuat kulit kacang di atas buku. Berulang-ulang sampai Kak Arya menyuruhku berhenti. Aku kira sudah, eh, ternyata suruh pindah tempat. Sepertinya ada sampai lima kali. Sampai akhirnya...

"Sungainya jauh enggak, Mit?" tanya Kak Arya tiba-tiba. 

"Lumayan. Kenapa, Kak Arya ingin ke sana?" 

Aku menebak-nebak sambil berharap iya. Hehe, kan belajarnya sudah lumayan lama. Sudah capek sih sebenarnya. Cuma agak nggak enak hati kalau aku yang meminta berhenti. Kesannya nanti kayak aku yang menyerah duluan. Terus aku juga penasaran keseruan mereka di sungai. 

"Kamu tahu, kan? Yuk," ajaknya. 

Sebelum pergi aku mengemasi buku-buku yang masih tergeletak di meja dan Kak Arya membawanya masuk. Kemudian kami berjalan bersama. Menuju sungai. Rasanya senang, pakai banget pokoknya. 

Ohya, Kak Arya orangnya ramah. Setiap kali bertemu dengan penduduk, dia mengangguk, tersenyum dan menyapa mereka. Bapak-bapak, ibu-ibu, nenek-nenek, bahkan anak kecil yang melintas tak luput dari sapaannya.

"Kak, Kakak sih kuliah apa?" pancingku. 

"Aku belajar di fakultas teknik." 

Aku mengangguk-angguk. Padahal enggak paham. Mau tanya sih, tapi ada rasa gengsi. Masa sudah cukup besar enggak tahu sedikit-sedikit tentang kuliah. 

"Belok kiri, seratus meter lagi nanti sampai, Kak." 

Kami berbelok melewati beberapa rumah penduduk, kemudian perkebunan. 

"Di sini banyak pohon kelapa, ya," komentar Kak Arya dengan kepala mendongak ke atas. "Tapi banyak yang dibuat nira."

"Iya, Kak. Dibuat gula. Soalnya kalau jual kelapanya bingung jualnya kemana. Kalau gula, kan semua orang butuh."

Lihat selengkapnya