Aku, Buku & Rindu

An Purbalien
Chapter #11

BAB 11. Bunga Cantik dari Hutan

Seminggu lagi para Mahasiswa KKN selesai bertugas di desa Taman Asri. Padahal antara kakak-kakak mahasiswa dan penduduk sedang akrab-akrabnya. 

Kami juga senang karena potensi alam di desa ini semakin dikenal berkat website dan feed Ig para mahasiswa KKN. Kabarnya desa kami akan menjadi desa wisata yang diharapkan bisa memajukan usaha-usaha lainnya. Seperti kuliner, kesenian juga cinderamata.

Sebelum pulang, katanya mereka ingin mengenal desa ini lebih dekat. Kakak-kakak mahasiswa ingin melakukan penjelajahan ke hutan di belakang desa. Jadilah kami sebagai pemandu penunjuk arah. 

Selain Deasy, Ratna, Sari, Ayu, aku, ada juga anak laki-laki yang biasa menemani Kakak KKN di sungai. Kecuali Bagas, sejak kejadian itu dia tak pernah lagi berkunjung ke posko KKN. 

Kami sudah siap berpetualang. Kak Arya, Kak Agung dan Kak Gilang memakai tas punggung besar seperti pemanjat gunung. Kabarnya itu juga hobi mereka. Mereka bertiga suka tantangan dan alam. Ohya, bekal makanan yang kami bawa dari rumah juga masuk ke dalam tas ransel mereka. Kami yang perempuan melenggang santai. Sementara teman-teman kami yang laki-laki membawakan tikar. Jadinya ini lebih seperti tamasya.

Perjalanan dimulai. Kami melintasi bukit tempat kami biasa bermain. Pohon-pohon albasia besar sudah sebulan yang lalu ditebang. Kayu-kayu gelondong yang digergaji pun sudah diangkut truk, entah ke mana. Pada tanah merah ini berjajar tanaman baru. Albasia kecil yang siap menggantikan pohon-pohon yang kemarin ditebang.  

Medan yang dilalui sudah mulai menanjak. Kak Widya tampak sedikit kepayahan. Dia memang terlalu lembut. Berbeda dengan Kak Lena yang lincah. Untung dari pekarangan rumah Pak Lurah, Kak Widya sudah menyiapkan sepotong kayu sebagai tongkat. 

Kami mulai menyebrangi sungai kecil dengan jembatan bambu seadanya. Ini berbeda dengan jembatan bambu seperti pada sungai kemarin. Jembatan menuju hutan hanya terdiri dari tiga batang bambu yang diletakkan begitu saja. Butuh keseimbangan agar lancar sampai ke seberang. Tapi kalaupun terpaksa jatuh, tak terlalu berbahaya. Karena airnya sebatas kaki dan masih terhitung jauh di bawah lutut. Sungai kecil ini juga tak ada buayanya. Jadi tenang saja.

Anak-anak laki-laki memang suka bercanda. Ada yang berpura-pura hampir jatuh dan itu membuat kami yang belum melewati jembatan sedikit dag dig dug. Tak hanya itu, ketika kami melintas, mereka menginjak bambu di bagian ujung sana kuat-kuat sehingga jembatan sedikit bergoyang. Kami hanya bisa teriak-teriak. 

"Hei, hentikan!" teriak Ratna. 

"Jangan begitu dong, pusing nih kepalaku," rengek Ayu dengan tangan memegangi kepala.

Anak laki-laki itu malah tertawa. Tapi saat Kak Widya, Kak Lena dan Kak Astry lewat mereka tak bisa melakukannya lagi. Soalnya ada kami yang menjaga dan terus menghalau mereka menjauhi jembatan. Bahkan Deasy dan Sari sampai mengejar-ngejar Wino.

Kami terus berjalan. Aroma tanah, derit bambu tertiup angin membuat suasana terasa menenangkan. Anak-anak laki-laki berada di depan sebagai penunjuk jalan. Sepertinya mereka memang sudah terbiasa pergi ke tempat ini. Mereka seolah hafal jalan. Dan terlihat sedikit sok jagoan.

"Kamu yakin nggak nyasar, kan?" tanya Kak Widya dengan nada khawatir. 

"Tenang saja, Kak. Percayakan pada kami. Kakak akan diajak ke sebuah tempat yang indah," jawabnya. 

Ternyata dibalik rimbunnya pohon-pohon bambu tadi terdapat tebing yang lumayan tinggi. 

"Ya ampun! Kita lewat sini? Bagaimana naiknya?" pekik Kak Astry.

Anak-anak laki-laki malah tersenyum bangga mendengar keterkejutan Kakak berambut sebahu itu. 

"Lewat sini, Kak. Ada jalan setapaknya," sahut Bino.

Benar. Kami berjalan menyusuri kaki-kaki tebing sampai ada sebuah garis yang sepertinya jalan itu sering dilalui manusia. Sedikit mirip undak-undakan meski masih jauh dari kata rapi.

Ketika kami hampir sampai di atas dan badan kami membalik, wow, ajaib sekali, desa kami terlihat dari sini. 

"Wah, rumahnya terlihat kecil-kecil!" pekik Sari. 

"Itu rumahmu Mit, dapurnya terlihat. Itu rumah Ratna. Terasnya terlihat dari sini."

Kami saling bersahut. Menunjuk dan menyebut bangunan-bangunan yang kami kenali. 

Setelah berhasil melewati tebing, jalanan cenderung rata. Pepohonan yang kami kira rimbun dan rapat dilihat dari bawah ternyata tidak. Ada jarak dan mudah bagi kami melewatinya. Memang pohonnya tinggi-tinggi. 

Di tengah perjalanan kami dibuat takjub dengan sebuah sungai kecil yang airnya sangat jernih. Dasar sungai kecil itu semuanya berupa batu cadas. 

Tak jauh dari kami berjongkok, banyak ikan kecil berenang. Kami berusaha menangkapnya dengan menangkupkan kedua tangan. 

"Ye, aku dapat dua!" teriak Kak Lena. 

Lihat selengkapnya