Cuaca cerah. Tapi hatiku mendung. Entah. Rasanya malas sekali beranjak dari tempat tidur. Kusingkap selimut karena Emak paling tak suka jika aku bermalas-malasan.
"Bangun. Kalau terus di kasur apa yang mau kamu perjuangkan buat masa depan?" nasihat Emak sambil membuka jendela. Sepertinya beliau ingin menunjukkan padaku, hari sudah siang, matahari bersinar terang, bangun! Saatnya berjuang.
Tapi hatiku berat. Ini lebih berat daripada musim dingin tapi hati terbakar semangat. Aku tidak tahu, apakah Kakak-kakak KKN itu merasakan hal yang sama atau justru mereka bersuka cita karena satu tugas sudah terlaksana?
Si Manis meloncat ke arahku. Tanpa bicara kupeluk dan kubopong dia keluar. Kuperhatikan lukisan awan di langit biru. Hijau dedaunan dengan titik embun yang masih menggantung. Cuit burung-burung kecil yang lincah melompat dari satu dahan ke dahan lain. Semua terasa menenangkan.
Kali ini kupejamkan mata. Kuhirup sejuknya udara pagi. Bernapas panjang terasa sedikit melegakan. Memeluk Si Manis berbulu lembut yang hangat membuat perasaan ikut bertambah hangat.
"Hei, Manis. Aku lagi sedih, nih. Kak Arya dan teman-temannya pulang hari ini."
Si Manis menatapku. Seolah dia mendengarkan curhatanku. Kali ini tak ada meongan. Dia malah menyandarkan kembali kepalanya ke dadaku. Sikap manjanya membuatku merasa dibutuhkan. Aku mengeratkan pelukan sekali lagi.
"Sudah ya, sudah siang. Mita mau sekolah," pamitku sambil melepaskan Si meong berbulu putih.
Handuk sudah tersampir di pundakku hendak ke kamar mandi. Namun aku berpapasan dengan Emak yang sudah cantik dengan kebaya dan botol-botol jamunya. Aku memilih mengantar Emak dari pintu terlebih dahulu. Menatapnya menjauh dengan gendongan jamu di punggung. Perjuangan yang luar biasa dan Emak berhasil menghidupiku. Semoga kelak aku bisa membalas jasa dan pengorbanannya.
***
"Nggak terasa ya, ternyata Kakak-kakak mahasiswa di sini sudah dua bulan," ucap Sari sendu.
"Iya, kayak cepat banget," sahut Ratna.
"Seperti nggak nyangkanya kita bakal bisa dekat sama mereka," ucap Deasy dengan mata menerawang.
Dari percakapan semua membenarkan perpisahan ini memang berat bagi kami. Terlalu banyak kenangan indah. Selain itu kami juga belajar banyak hal, mulai pengalaman berharga mendapat kesempatan belajar tari dan menari di panggung, sampai hal remeh seperti memadu padankan pakaian.
Bagiku kehadiran mereka juga sangat berharga. Terutama Kak Arya. Dia berhasil mengajariku membaca. Membuatku menyukai buku cerita. Hal itu sangat membantu. Meski aku sadari bahwa disleksia memang membuatku berbeda. Aku tak mampu menyerap semua yang dibaca. Karenanya harus bisa kutemukan kata kunci kata kunci dari rangkaian kalimat yang kueja.
"Pulang sekolah langsung ke rumah Pak Lurah, yuk," ajak Ratna.
Kami semua setuju. Memang perpisahan menyedihkan. Namun itu juga moment kami bisa melepas dan mengantar kepergian mereka.
"Sayangnya kita nggak punya hadiah apa-apa buat mereka," kataku yang dibenarkan mereka dengan wajah sendu.
"Iya, dari kemarin tidak terpikir ya," timpal Ayu.
Kami semua beralasan dari kemarin sibuk jadi tidak terpikir membuat sesuatu sebagai kenang-kenangan.
Jadilah pulang sekolah kami berlarian seperti biasa. Bukan rumah masing-masing yang dituju. Tapi posko KKN yang kami harapkan belum ditinggal penghuninya.
Untunglah kami masih bisa bertemu mereka. Sampai di sana suasana tampak sibuk. Kakak-kakak KKN sedang memasukkan tas ransel dan barang-barang lainnya ke Jeep dengan atap belakang terbuka.
Ada perasaan sedih yang menyeruak tiba-tiba. Seperti sesuatu yang berharga dan terampas dari kita. Tak sadar mataku berkaca. Ini persis seperti sajak sarak yang dibacakan Deasy waktu itu.
"Ye, jangan nangis." Kak Astry tiba-tiba menghampiri dan memelukku.
Diperlakukan seperti itu air mataku justru membanjir tak mampu dibendung. Aku terisak dalam dekapan Kakak yang dulu sempat kukira berwatak judes itu.
Saat aku mengangkat kepala, sempat kulihat yang lain pun menyapukan ujung jari tengahnya ke bawah mata.
"Maaf ya, Kak. Kami tidak memberikan bingkisan apapun." Ucapan Deasy mewakili kami semua.