Abim mengantarku pulang. Entahlah, aku baru mengenalnya, tapi mengapa sisi hatiku bisa langsung percaya? Aku sendiri bingung. Sebenarnya aku bukan tipe orang yang langsung bisa akrab dengan orang asing.
"Ini rumahmu?"
Aku menggeleng. "Rumah Tante dan Omku."
Tak ada pertanyaan lain. Dia hanya tersenyum kemudian pamit pulang. Aku sendiri begitu bodoh. Tidak menanyakan lagi di mana dia tinggal.
Setelah kendaraan Abim berbelok di ujung gang, aku segera beranjak dari tempatku berdiri. Masuk ke rumah dengan kunci serep dan langsung menuju kamar. Kuletakkan semua barang bawaan di atas meja belajar. Aku duduk di kursi sambil melepas sepatu satu persatu. Lalu teringat harus menghubungi Om Burhan dan Tante Diana bahwa aku sudah sampai rumah dengan selamat. Jika tidak, beliau akan bersusah payah memutar untuk menjemputku.
Di usiaku yang ke-dua puluh, mereka memang belum memercayai aku membawa sepeda motor. Mungkin mereka khawatir kendaraan itu justru membawaku berpetualang dan lupa arah jalan pulang. Itulah keadaannya. Aku hanya hapal daerah di sekitar komplek saja. Keluar dari ujung gang sana, semua terasa baru dalam otakku.
Aku pun tak bertanya apalagi memaksa mereka memberiku sepeda motor. Mau mengurus dan membiayai pendidikanku saja, sudah lebih dari cukup. Apalagi mereka sudah berlaku sangat baik. Mereka memperlakukanku seperti anak sendiri.
Notifikasi WhatsApp masuk. Jawaban dari keduanya. Aku lega. Rasa penat belum mampu menggiringku ke kamar mandi. Aku justru membuka-buka buku yang baru dibeli. Membolak-balik halaman dan mengamati setiap gambar. Ah, bahkan di usiaku yang sudah dewasa gambar warna-warni itu jauh lebih menarik daripada mengeja deretan kata. Meski aku sudah cukup lancar membaca.
Mendadak ingatanku terlempar pada peristiwa lima tahun silam. Ketika jari Kak Arya membentuk kulit kacang di depan mata. Ketika ibu jari menggoreskan aksara di telapak tanganku yang tiba-tiba dingin, ketika dia mengajariku membaca kata-kata yang ditulis di atas pasir.
Jemariku menulis sebuah kata pendek Arya pada mesin pencarian Facebook, ternyata banyak sekali Arya. Satu persatu aku telusuri dan tiba-tiba membuat badanku terasa kaku dan lelah.
Kugeletakkan ponsel begitu saja lalu kusambar handuk. Mandi adalah pilihan terbaik. Selain badanku memang sudah penat dengan aktivitas seharian setidaknya air dingin akan membuat pikiranku kembali fresh.
Di kamar mandi aku baru teringat rasanya perlu menurunkan buku-buku dongeng Kak Arya yang sudah dipigura. Karena aku lupa nama panjang Kak Arya siapa? Sementara tadi semua Arya pasti ada embel-embel di belakangnya. Benar, rupanya badan segar membuat pikiran kembali terang.
Setelah merapikan diri aku menarik sebuah bangku kecil dan naik ke atasnya demi mengambil buku-buku cerita Kak Arya yang kupajang di dinding. Aku duduk di tepi tempat tidur. Mengelap kaca dan pinggiran pigura yang berdebu memakai tisyu baru mengeluarkan buku satu persatu. Kubuka semua halaman sampulnya. Karena seingatku hanya ada satu yang diberi nama lengkap Kak Arya.
"Ar-ya-nug-ra-ha." Bibirku mengeja.
Kuraih lagi ponsel dan kali ini langsung meluncur ke Instagram. Kuletakkan nama Arya Nugraha. Ada dua nama sama di sana. Aku stalking satu persatu. Dan pada nama kedua rasanya ada sesuatu yang bergetar di jantungku. Memang cowok ini tak berambut panjang. Tapi facenya sedikit ada kemiripan dengan Kak Aryaku.
Mataku teliti memperhatikan foto itu satu persatu. Foto di kantor dengan hem panjang berdasi, Hem panjang dengan lengan digulung tiga perempat, foto berdua di taman, foto di cafe dengan gadis cantik yang juga ada di taman, foto di museum. Masih banyak foto lain sehingga membuatku perlu bersandar agar bisa lebih santai.
Aku terus caroll dan dadaku seperti meledak ketika difeednya ada foto-foto kami dahulu ketika Kakak-kakak KKN di desaku dulu.
Aku segera follow Instagramnya. Kemudian sebuah DM aku kirimkan.
Dear Kak Arya.
Masih ingat dengan gadis kecil yang Kakak ajari membaca dengan metode kulit kacang dan menulis di atas pasir?
Ini aku.
Asmita. Yang gemar menari dan sekarang kuliah seni tari di sebuah kampus ternama.