Rasa-rasanya kehidupanku lebih bergairah. Andrenalin seolah terpacu. Ada Abim yang kapan saja menyapa pagiku. Menungggu dengan sabar saat-saat latihan. Menemani jalan-jalan berburu buku bekas dan menyusuri eksotisnya kota Jogja. Meski lima tahun tinggal di kota ini, tak pernah ada bosan menikmati Jogja dengan segala keindahannya.
Namun bukan hanya Abim yang kini mengisi ruang hati. Ada cinta pertama yang kembali menyapa. Menculikku masuk dalam dimensi yang berbeda.
"Sebentar ya, Bim?" pamitku sambil mencari posisi menjauh dari pemuda di hadapanku.
"Ya, Kak?" sapa suara di seberang sambungan selular.
"Aku mau ke Jogja. Besok. Ketemuan, yuk!"
"Wah, yang benar, Kak!" pekikku. Rasanya bagai di tengah hujan meteor.
"Ketemu di mana?"
"Alun-alun lor, ya, Kak. Kak Arya tahu angkringan yang dipakai konser Tri Suaka yang di You Tube itu?"
"Gampang, nanti bisa dicari."
"Besok jam berapa, Kak? Biar aku nunggu sekalian shareloc."
"Selepas Maghrib, ya."
Percakapan ditutup. Aku tak bisa menyembunyikan rasa bahagia. Senyum di bibir masih saja terkembang.
"Siapa?" tanya Abim mengalihkan pandangan dari layar ponselnya.
"Teman lama mau datang ke Jogja."
"Wah, senang dong. Bisa nostalgia."
Aku mengangguk dan tersenyum. Melihatku yang tak terlalu menanggapi ucapannya Abim mengalihkan percakapan. Obrolan kami kembali tentang kampus, tugas dan impian ke depan selepas lulus.
"Aku nanti nggak bisa antar," kata Abim di tengah percakapan.
"Nggak papa, santai saja. Lagian, kamu bukan tukang ojek, kok."
"Aku ngerjakan project bareng teman."
Aku kembali mengangguk. Ini lah asyiknya jalan bareng Abim. Aku merasa nyaman karena laki-laki itu tak seperti pemuda lain pada umumnya. Baru dekat sebentar, nembak, dan setengah memaksa meminta jawaban diterima ketika telah mengungkapkan perasaannya. Ketika jawaban tidak sesuai harapan langsung ambil langkah seribu. Menjauh dan seolah tak pernah saling kenal. Bahkan parahnya segera melakukan PDKT dengan perempuan lain dan dengan norak sengaja memamerkannya.
"Lagi ngerjain project apa?"
"Bikin logo UMKM."
"Apa suka dukanya?"
Abim tertawa. "Kadang ada saja yang belum bisa menghargai jerih payah kita. Dikira bikin logo itu asal coret. Padahal kadang dibela-belain begadang, bukan cuma bagaimana membuat logo yang berbeda dari logo-logo yang sudah ada. Tapi harapannya unik juga membawa hoki buat mereka."
"Inilah jeritan hati anak DKV," ledekku.
Abim sempat melipat buku tulis dan memukulkan lirih ke keningku dengan gemas. Aku pura-pura kesakitan mengaduh dan mengusapnya. Sialnya dia cuek saja karena yakin pukulannya tak menimbulkan efek apa-apa.
***
Sore yang gerimis. Aku sudah berkabar sejak tadi minta dijemput Tante Diana. Kebetulan jam kuliah terakhir selesainya sama dengan jam pulang kantor Tante.
Aku berjalan bersama beberapa teman. Lupa tak membawa payung membuat tas kukorbankan demi menutupi kepala. Untung hanya gerimis jadi kupastikan beberapa buku di dalamnya aman.
"Aku di tempat biasa, Tante," ketikku memberitahu.