Di luar langit sedang mendung, cahaya matahari terhalang oleh awan-awan berwarna kelabu. Minggu pagi ini begitu nikmat untuk tidur-tiduran, ditambah suasana yang mendukung begitu bersahabat yang cocok untuk melupakan segala rutinitas yang besok akan kembali dijalani. Dikta masih begitu betah di atas tempat tidurnya di bawah selimut yang hangat, semalam ia begadang, baru tidur pada pukul dua dini hari. Suara gedoran pintu ia abaikan, Dikta semakin menutup telinganya dengan bantal.
“Kak, bangun kak, udah jam Sembilan lewat nih,” teriak Bian, sambil memukul-mukul pintu kamar dengan kuat.
“Kunci motor mana kak? Bangun dulu, nanti tidur lagi. Mau latihan futsal nih, udah telat, aturannya jam Sembilan tadi, kak.” Teriaknya lagi, sekarang bukan dengan tangan lagi ia menggedor pintu, tapi dengan kakinya.
Tidur Dikta yang begitu nyaman, seketika buyar di saat mendengar suara adiknya yang sangat keras belum lagi gedoran pintu yang begitu kuat. Ia pun mulai bangkit sempoyongan menuju arah pintu kamar, membuka kuncinya, dan tanpa ia buka, pintu udah terbuka begitu tergesa-gesa dari luar tentu saja Bian pelakunya. Ia menahan kesal dengan kelakuan Bian yang betul-betul mengganggu paginya.
“lama banget sih kak, mana kunci motor?”
“Untuk apa kunci motor, aku baru ingat gak bisa pinjamin motor ke kamu, nanti aku mau pergi dan itu penting.” Ucap Dikta, lalu menutup pintu kembali sambil mendorong badan Bian agar keluar dari kamar. Setelah itu, ia pun menguncinya.
“Kakak semalam udah janji, ban motorku bocor juga gara kakak,” teriaknya kesal, sambil mengacak-acak rambutnya. Ia begitu geram melihat kelakuan Dikta yang seenaknya.
Dikta mengabaikan ocehan Bian, ia malah mengambil handphone yang belum pernah ia sentuh hari ini. ia memang udah janji semalam, tapi ia gak ingat kalau hari ini ternyata hari minggu, karna sekarang ia udah memiliki jadwal yang gak bisa diganggu gugat yaitu pergi ke rumah Vian, untuk mengerjakan PR matematika Vian. Ia melihat jam di handphone yang sudah mau pukul setengah sepuluh, ia pun bangkit untuk pergi ke kamar mandi bersiap-siap, sepertinya ia akan telat.
Bian yang masih berada di depan kamar Dikta, langsung kembali marah-marah di saat ia melihat Dikta baru saja keluar kamar. Bian semakin kesal karna Dikta gak peduli sama sekali, Dikta malah terus berjalan tanpa mempedulikan kemarahannya. Untunglah temannya masih ada yang belum pergi, jadi ia minta nebeng. Lihat saja, akan ia adukan kelakuan buruk kakaknya ke Fika, adiknya Vian.
Bian tau, kakaknya itu lagi dekat dengan kakaknya Fika. Ia tau setelah berpapasan di jalan dengan Dikta yang sedang berboncengan dengan kak Vian. Bian udah beberapa kali ke rumah Fika karna mereka teman sekelas, dan sebenarnya ia juga kenal dengan Vian kakaknya Fika itu. Bian memikirkan kata-kata yang akan ia sampaikan ke Fika, atau lebih bagus lagi ia sampaikan saja langsung ke Vian. Bian begitu senang, ia akan segera membalas kekesalannya.
***
Dikta yang baru selesai mandi, membuat badannnya menjadi segar. Suara air yang berjatuhan megenai atap rumah mulai kedengaran pelan, lama kelamaan suaranya berubah menjadi kuat. Hujan turun dengan deras, Dikta menatap dari luar jendela rintik-rintik air hujan yang terkadang terciprat ke wajahnya. Ia menghela napas, melihat hujan yang baru saja turun. Kalau begini batal sudah rencananya pergi ke rumah Vian. Setengah jam berlalu ia masih betah memandang keluar jendela, yang masih saja hujan meskipun tidak sederas tadi. Udara dingin masuk melalui jendela yang terbuka lebar, gorden berterbangan tertiup angin. Membuat badan terasa dingin.
Dikta bangkit pergi keluar kamar, sepertinya hujan udah mulai reda. Ia merasakan lantai lumayan basah di bawah jendela, akibat jendela yang dibukanya lebar ditambah angin yang tertiup cukup kencang membuat air hujan masuk ke dalam kamar. Bukan lantai saja, baju Dikta saja basah walaupun sedikit. Dari pada nanti diomelin oleh ibu, lebih baik ia membersihkannya terlebih dahulu.
Dikta berjalan santai ke arah motornya, yang sebelumnya ia pamit dulu ke pada ibunya. Seperti biasa setiap hari minggu ibu selalu memintanya untuk mengantarkan ke supermarket, tapi untunglah rayuan yang ia berikan begitu ampuh, yang akhirnya ditunda sampai nanti sore, baru mereka akan pergi.
Setelah dua puluh menit, sampai juga ia di rumah Vian. Jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Ia pun memarkirkan motornya, lalu berjalan ke arah teras dengan pintu depan yang tertutup. Setelah mengucapkan salam beberapa kali, akhirnya pintu terbuka menampilkan wajah Vian yang baru saja membukakan pintu untuknya.
“kupikir kamu gak jadi datang.”