Vian udah cukup bersabar dengan sikapnya Dikta, yang selalu membuatnya jengkel. Dari tadi Dikta terus membawa motornya membelah jalanan, ntah ke mana tujuan orang ini sebenarnya. Vian pun udah mulai gelisah, karna ini udah cukup lama. Dari tadi Vian hanya melihat-lihat sekitar, dan di atas, awan mendung mulai kelihatan semakin jelas.
"Dikta, Mau ke mana sih? Dari tadi ga sampai-sampai."
"Dari tadi kamu bilang itu terus, Vian, ga capek? Sabar, sebentar lagi sampai kok."
"Terserah, kamu tu pembohong, tau ga? Sebentar lagi dari mana, dari tadi tuh kita ga pernah sampai."
Dikta hanya menggelengkan kepalanya mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Vian, sambil tersenyum samar. Ternyata bukan dirinya saja yang keras kepala, tapi Vian lebih keras kepala lagi.
"Sekarang aku serius, sebentar lagi." Ucap Dikta
Vian hanya diam, malas membalas ucapan Dikta, yang selalu berujung perdebatan panjang. Vian hanya berdoa di dalam hati, semoga apa yang dikatakan Dikta benar adanya, bukan hanya sekedar kata-kata 'sebentar lagi sampai.' Karna dari tadi Dikta terus bilang seperti itu, tapi ga pernah kejadian.
Setelah melewati perjalanan yang sangat panjang, menurut Vian. Akhirnya sampai juga ke tempat tujuan. Ternyata Dikta membawanya ke sebuah danau buatan, di pinggiran kota. Karna sekarang baru jam tiga sore, jadi belum terlalu ramai orang yang datang ke sini. Vian sedang berdiri di pinggiran danau, sambil melihat airnya yang tenang dan mengalir dengan pelan. Ia suka melihatnya, apalagi kalau airnya mengalir dengan cepat dan deras. Walaupun air danaunya tenang dan mengalir di situ-situ aja, tapi Vian tetap suka melihatnya.
Dikta hanya melihat Vian, ia berdiri tepat di belakang Vian, dan hanya melihat punggung perempuan yang ada di depannya ini. Dikta menjadi teringat, di waktu ia pertama kali melihat Vian di depan sekolahnya. Vian yang gak menyadari sama sekali, kalau dirinya sedang duduk tepat di samping Vian. Sangking larutnya Vian melihat air hujan yang jatuh ke tanah dan jalanan beraspal, yang membuat air menggenang dan mengalir.
Vian membalikkan tubuhnya, dan matanya langsung beradu dengan Dikta. Vian hanya diam dan tatapan mata Dikta masih terus menatap ke dalam bola matanya, yang membuat Vian langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain, gugup. Vian terus berjalan melewati Dikta, ia berjalan ke arah motor yang terparkir.
"Duduk dulu Vian," ucap Dikta sambil memegang tangannya dan menuntun Vian ke arah kursi, yang gak jauh dari tempat berdiri mereka sekarang.
Vian yang masih belum mengerti, hanya diam mengikuti langkah Dikta. Ia sangat kaget dengan sikapnya Dikta, yang selalu tiba-tiba. Vian duduk di samping Dikta, sambil melihat ke arahnya dengan jengkel.
"Gak usah pakai pegang-pegang juga Dikta, dalam sehari ni, udah berapa kali kamu pegang tanganku secara tiba-tiba."
"Kamunya juga sih, main pergi-pergi aja."
Vian lebih memilih diam, dan memandang ke arah danau. Angin yang berhembus sesekali menerpa wajahnya, rasanya begitu nyaman.
"Vian?"