Dikta masih menjalankan motornya, dan Vian begitu kebingungan melihat Dikta membawa motornya, seperti tidak biasanya. Gak tau kenapa Dikta membawa motornya sangat pelan. Rasanya lebih baik jalan kaki dari pada naik motornya ini, percuma juga pake motor kalau seperti siput gini. Jalannya ke pinggir, sangking pelannya kayak mau oleng nih motor.
Di tambah Hari ini panas, sangat terasa sampai menusuk kulit. Vian yakin Dikta pasti mau berhenti. Kepala Dikta selalu menoleh ke kanan seperti mencari sesuatu. Dan tak lama Dikta memberhentikan motornya di pinggir jalan tepat di depan penjual es doger.
Ketika Dikta turun, Vian juga ikutan turun dari motornya itu. Cuaca yang panas, ditambah Dikta malah berhenti di pinggir jalan seperti ini, membuat Vian menjadi kesal.
"Ini ngapain ke sini?" Tanya Vian.
"Kita beli es dulu sebentar, kamu gak suka es doger?"
"Yaa suka, tapi aku mau langsung pulang, Dikta".
"Sebentar aja, sekarang cuaca lagi panas-panasnya pasti enak kalo kita beli es doger".
Mendengar itu, Vian langsung berjalan ke bangku yang sudah disediakan di belakang panjual es doger untuk duduk. Rasanya malas sekali membalas perkataan Dikta, yang selalu tidak ada ujungnya. Sebenarnya Vian mau langsung pulang, karna ia ingin tidur, lebih tepatnya bermalas-malasan. Hari ini sangat melelahkan ditambah cuaca yang panas semakin menambah rasa capek di badan. Belum lagi pikiran yang perlu untuk di istirahatkan, karna rasanya, selama di sekolah tadi pikiran udah terlalu banyak berpikir.
Gak lama kemudian, Dikta duduk di samping Vian, setelah memesan es doger ke bapak penjualnya. Setelah dua menit berlalu hanya kesunyian yang menemani. Vian menoleh ke arah Dikta yang sekarang dia lagi menatap ke arahnya juga.
"Kamu kenapa tadi pas pulang sekolah, kok cemberut gitu mukanya?"
"Hmm gak ada, cuma masalah di sekolah aja," jawab Vian.
"Masalah apa?".
"Yaa banyak macamnya, tugas sekolah yang semakin menumpuk, belum lagi dituntut untuk belajar mempersiapkan ujian yang semakin dekat, minggu depan bimbel akan dimulai, kalau kayak gini rasanya ga sanggup."
Dikta hanya diam mendengarkan dengan tenang. Vian aja rasanya udah emosi membicarakan ini.
"Jangan dipikirkan kali, cukup jalani. Kalau udah gak sanggup berhenti, istirahat sebentar. Jangan dipaksakan. Emangnya tugas sekolahnya banyak kali?"
Vian menganggukkan kepalanya, mendengar nasehat bijak yang baru pertama kali ia dengar dari mulut Dikta. Ia melihat ke arah Dikta yang lagi tersenyum lembut ke arahnya. Vian termenung sebentar, melihat wajah Dikta seperti gak punya beban hidup yang harus dijalani. Ia terlena, terus memperhatikan wajah Dikta tanpa kedip, ia tersadar ketika Dikta menaikkan satu alisnya, sangat memalukan ia mencoba bersikap normal kembali ke dunia nyata.
"Lumayan sih, belum lagi tugas matematika. Harus dikumpulkan hari senin semua, tugas yang dikasihnya beberapa hari yang lalu aja belum selesai, ditambah hari ini dikasih lagi." ucap Vian pelan. Ia menaikkan kepalanya melihat Dikta hanya diam saja.
Vian kembali Memikirkan kekesalan pulang sekolah tadi, yang ia bicarakan sama Vita dan Suci tadi.
Setelah itu, datang bapak penjual es doger ke meja Dikta dan Vian, memecahkan keheningan. Ia mengantarkan es doger dua buah. Bapak tersebut tersenyum ramah lalu meninggalkan Vian dan Dikta berdua kembali.
"Mau aku bantu gak? Aku lumayan pandai kalau soal hitung-hitungan seperti matematika ini."