21 Mei 2009, Suryalaya.
Semesta begitu piawai dalam membolak-balikan rasa, dan aku hanyalah salah satu lelaki di penghujung semesta yang menjadi korban konspirasi sang waktu dalam ukiran takdir. Kemarin, senyum masih tergores dibibir manisku, bunga-bunga harapan terlukis di hatiku, dan khayalku di isi penuh oleh lembaran-lembaran mimpi elok yang megah bak istana ajaib di taman Firdaus . Kini, yang kulihat hanyalah kelam, air mata ibunda yang tak berhenti menetes, dan seorang lelaki yang terkubur bersama mimpi-mimpinya yang hancur. Tepat pada 21 Mei 2009, The Little Gumelar menghembuskan nafas terakhirnya. Menyusul Bapak yang telah lama hilang, dan kembali ke surgaNya.
Aku lelah di tampar malam. Merana di bawah naungan bintang, menunduk lesu bak bunga-bunga layu yang hilang ditelan musim gugur. Tangis dan jerit menjadi cara terbaik tuk menghilangkan puing-puing luka yang kurasakan. Mataku terpaku menatap sesosok mayit yang terbujur kaku di hadapanku, ditopang dalam keranda lalu dimasukan ke dalam tanah bersama kafan, doa-doa, dan cita-citanya. Sosok lelaki yang selumbari—dua hari yang lalu—masih tersenyum, dan berkisah tentang mimpi indahnya, kisahnya berakhir tragis hari itu.
"Seharusnya endingnya bukan begini." Buliran-buliran air mata jatuh dari mata bulatku. "Anak-anak Surya[1] tumbuh bersama, berjuang bersama sampai kelak dewasa. Kita akan mewujudkan asa dan khayalan yang kita idam-idamakan. Rian menjadi ustadz ternama, Hilal menjadi penyanyi yang go internasional, dan aku menjadi sahabat yang mendukung mereka. Tak perlu Trio Cemen terukir di Walk of Fame. Yang penting, kisah kami terukir dalam keabadian.
Hilal memang ditakdirkan untuk pulang. Namun, hilang adalah cara yang salah. Selesai sekolah di SMP 6 , dia ingin pindah dan kembali pulang ke kampung untuk menemani bunda yang kesepian, walaupun harus meninggalkan kekasihnya, Putri. Demi ibu dia rela melakukan segalanya. Dia rindu dengan sahabat-sahabatnya yang menantikannya di SMP Kupu-kupu. Keji. Dia pulang bukan untuk nostalgia, melainkan keabadian. Dari tanah, kembali ke tanah, dan hanya menyisakan sejarah.
Tuhan tolong tampar aku, pastikan ini hanya mimpi.
Kala ajal menjemput pasti ada sesuatu yang direnggut. Mereka yang tiada meninggalkan harta, ilmu, cinta, dan harapan-harapannya ; mereka yang ditinggalkan menanggung luka, kenangan, beban, dan mimpi-mimpi dari mereka yang meninggalkan. Anak-anak Surya kehilangan sahabatnya ; Mamah kehilangan tumpuan harapannya ; aku menanggung mimpi-mimpinya yang belum terwujudkan. Pagi itu, Hilal selesai dikuburkan. Namun, mimpi-mimpinya takkan kubiarkan terkubur dan hilang di makan rayap.
19 Mei 2020
Terimakasih pada langit yang memberiku hari cerah, sehingga perjalanan kita dari Suryalaya ke kota Tasikmalaya berakhir dengan selamat. Aku, Mamah, dan si bungsu, Diman akhirnya mendarat. Tepatnya, rumah kedua kami di Pesinggahan Besar. Sebuah rumah kecil di ujung sungai yang terletak di perempatan gang sempit, di sekitar Jalan Jiwa Besar. Kalau musim kemarau tercium pesing yang gak nahan, seolah-olah tahi para jelata tersendat bersama sampah-sampah liar yang berserak. Dibalik aroma yang sadis, ada tiga keluarga harmonis yang menempati rumah kecil penuh kenangan manis. Laksana kost-kostan, ada tiga ruang terpisah. Ruang utama dihuni keluarga Bi Eli, ruang kedua dihuni keluarga Mang Edi, dan ruang ketiga khusus kontrakan.
"Assalamualaikum." Mamah berdiri teguh, tangannya menjinjing sekardus oleh-oleh buat melelehkan hati keponakannya. Tubuh gembul nya nampak begitu lelah.
Wajahku mengerut, ingin rasanya segera mendarat ke dalam dan merebahkan tubuhku. Kurasa, Diman pun demikian. Wajahnya nampak kusam, hatinya tampak gersang. Dia teramat begitu menyesal membeli sebuah K*nd*rjoys di minimarket. Dikiranya isinya tiket ke Disneyland, realitanya hanya lelehan coklat dengan dua coklat segede upil kering. "Tahu begini, ade beli gorengan sepuluh biji." Sudah lapur, baru ngeluh — manusia.
"Walaikumsalam." BI Eli menyambutnya. Setengah tahun tak bertemu, sosoknya semakin gembul dan bantet seperti Doraemon.
Saat pintu kayu itu terbuka, gembira turut masuk kedalamnya. Hilal tersenyum ceria memandang wajah ibundanya. Dua bulan dirundung rindu, akhirnya kini rindunya terbayar tuntas.
"Hello Mom, whats up?" Satu tahun penuh di kota dan dia bisa bahasa Inggris. Emejing. "Panjang umur," kata Hilal. Baru diomongin, Si Mamah sudah datang."
"Hello, Mak." Mamah mencium mesra tangan ibunya. Wanita renta berciput hitam begitu sumringah, dengan kedatangan anak cucunya dari kampung. Emak Anah menatap lembut, tangannya begitu sibuk memutar butiran tasbih, berdzikir pada Tuhannya . Dia duduk menyepi, disamping anak bungsunya : Mang Tedi. Yang Sekilas parasnya mirip Rido Rhoma versi butek. Di ruang outdoornya, Mang Edi sedang bertempur melawan deadline dengan mesin jahitnya. Melawan waktu, dia menyulap sarung gajah duduk jadi celana pensil nan ketat ala vokalis The Changcuters. Yang kala itu jadi "racun dunia" .
"Sedang apa Mang, kok sarung dijadiin celana? Kampungan pisan!" Dahiku mengerenyit. Katro dengan selera fesyen yang aneh.
"Yeah, kebanyakan bertapa di gunung, kamu! Ini teh gaya tau, ala-ala Changcuters. " Hilal protes karena di nilai kampungan. Gayanya yang baru setahun di kota udah kayak Elvis Presley saja. Mulai liar dan nakal.
"Gini, gini aku teh Cangcut Rangers!" Dia menepuk dadanya dengan bangga.
Sekedar info, Changcut Ranger bukanlah sekte sesat kaum lelaki mesum yang hobi maling cangcut di jemuran, bukan pula sekumpulan Power Rangers yang bertempur dengan sempak warna-warni menempel dikepalanya . Namun, sebuah sebutan fans fanatik The Changcuters, band nyentrik bergaya klasik yang rock n roll. Celana pensil adalah salah ciri khas bagi fans fanatik band ini.
"Aneh ketang, A." Emak Anah membelaku. "Sarung buat shalat malah dipakek buat gaya. Aya-aya wae." Dia menggelengkan kepalanya.
"Orderan saha eta, Mang?" Pasti orderan anak kurang pendidikan. Pikirku.
"Tuh, orangnya." Matanya melirik ke arah Hilal. Dia tersenyum santai.
Aku tertawa geli. "Hati-hati loh, turun bero entar kalo pake celana ketat kitu mah."
"Bodo. Yang penting mah gaya." Hilal menaikan kedua alisnya sambil mengacungkan jari metal.