Aku Cinta Kita Dan Bandung

Alwinn
Chapter #2

Catatan Impian Dari Kematian

 Hilal membawa gitar yang tergeletak kesepian di sudut kamarnya. Dia lalu memangkunya laksana seorang bayi yang ditimang dengan kasih. Jemari-jemarinya mulai memetik senar gitar yang mulai bergetar. "Mah, dengarlah suaraku. Penyanyi hebat, mulai berpentas."

"Sok tunjukin, Mamah pengen dengar."

Aku dan Mamah duduk di sudut kasur lalu mulai memasang kuping. Selepas shalat Ashar, Emak Anah langsung duduk di kasur, menyaksikan cucunya. Dari jauh kulihat Dina senyum-senyum sendiri, melihat tingkah sepupu mancungnya. Dini begitu asyik selfie berpose memajang wajah manisnya di kamera ponselnya yang burik. Secantik apapun kamu, wujudmu takkan terabadikan dengan baik oleh lensa kamera VGA yang pedih dipandang mata. Si kecil Diman tak peduli, dia memilih keluar, bermain layangan bersama Eri dan Dafa.

"Semuanya siap?"

Jreng! Melody gitar mulai dimainkan.

Sebuah kamar kostnya yang redup, ia sulap menjadi panggung kecilnya. Lagu-lagu Melayu band ST12 yang menyayat hati, dia nyanyikan dengan sepenuh jiwa. "Di bawah batu nisan kini kau telah sandarkan, kasih sayang kamu begitu dalam, sungguh ku tak sanggup ini terjadi. Karena ku sangat cinta."



" Inikah saat terakhirku melihat kamu, jatuh air mataku menangis pilu, hanya mampu ucapkan... Selamat jalan kasih." Hilal menutup lagunya dengan senyum madunya.

"Prok, prok, prok." Gemuruh tepuk tangan jadi bukti kehebatannya. Merdunya buatku bergeming, sendunya melodi-melodi gitar yang berdenting buatku berkelana ke masa lampau. Hari di mana aku masih punya keluarga yang lengkap, dan sempurna. Di mana mendiang Bapakku mengajarkan kami petikan-petikan kecapinya yang syahdu. Hatiku berucap, "Seandainya, Bapak dengar suaramu, pasti dia bangga denganmu."

"Jangan jadi saat terakhir atuh, Dek." Mamah menyeka air matanya. "Kan, masih ada hari esok."

Hilal tertawa cerah, "Kan, judulnya 'saat terakhir' , Mah." Dia mengusap lembut pundak janda malang itu. "Tenang saja, cintaku pada Mamah takkan berakhir."

"Gimana suaraku merdukah?" Si kecil menunggu pujiannya. Dia mengelus pundak ibunya.

"Bagus, Nak. Mirip Debo, Idola Cilik."

"Bagus, enggak, Mak?" Dia tersenyum ke arah neneknya.

"Bagus, mirip Doel Soembang." Selera Emak, Sunda sekali.

Lelaki kecil itu tersipu malu kala disandingkan dengan idolanya. Mungkin kalian mengenal Debo sebagai sosok "Nandan" Si culun tampan yang cintanya dicampakan. Namun, aku mengenal Debo sebagai jawara Idola Cilik dua yang bersuara merdu dan bernasib sendu. Dia adalah lelaki Sukabumi yang di tinggal jauh Emaknya yang jadi TKW di Arab.

"Lal, siapa yang mendidikmu belajar nyanyi?" Mamah mulai terpikat dengan merdunya.

" A Pendi, Mah. Dialah yang jadi guruku." Hilal mulai bercerita tentang Pendi, anak sulung Mah Bibi —si janda lucu— yang piawai bermain musik. Hilal berkisah, selain bernyanyi, A Pendi mengajarkan skill-skill main PS di rental PlayStation miliknya. Dulu, belum ada game moba. Bagi para pejantan persahabatan terjalan di rental PlayStation.

"Usiamu sudah tiga belas, kamu tak bisa ikut Idola Cilik. Seandainya pas waktu itu kita dapat formulirnya, mungkin namamu sudah dikenal dunia, Lal." Sesal tergurat diwajahku. Tiga hari setelah lebaran, Bersama Trio Cemen[1] kita berjuang mencarinya. Namun, gagal mendapatkannya.

"Tenang saja, A. Ade bakalan ikutan Indonesian Idol. Ade bakal berlatih lebih keras supaya bisa wujudin mimpi almarhum Bapak jadi musisi terkenal."

Kulihat tekad bulat di matanya. Dia hidup tanpa sesal walaupun masih saja terkekang dalam memori yang membuatnya nyeri. Dia masih ingat karya Bapak yang berjamur. Lirik-lirik pupuh-pupuh Sunda yang dia tulis bertahun-tahun, kini terbengkalai kotor dan berdebu. Sampai akhir khayatnya, Bapak hanyalah jadi musisi tua yang tak kunjung dikenal dunia.


Dia begitu teguh, kemiskinan takkan memudarkan mimpinya.

Dengan canda kuberkata, "Teruslah bermimpi sampai suaramu semerdu diriku, Nak."

"Suaramu mah, Fals, A. Nyanyianmu tak kalah serak dari katak-katak birahi yang berkicau di musim hujan." Semakin dewasa, Hilal semakin pandai menyindir.


"Masih mending lah, daripada penyanyi kamar mayat." Jokesku garing sekali. "Bodo amat!" mataku mendelik. "Sekiranya, aku lebih ganteng darimu. Di Indonesia, suara itu nomor dua, tampang nomor satu."

"Cih, penyanyi kamar mandi, sok-sokan jadi musisi." Dia menjulurkan lidahnya.

"Gantengan si Adek. Si Aa mah bau badot, jarang mandi." Giginya yang carang terlihat jelas.

"Ayolah, bisakah kamu berdusta kali ini saja, Mah?" Aku menatapnya dengan tampang Squidward yang datar.

Nyanyiannya telah usai. Namun, aku dan Hilal tak berhenti berkicau. Kita berdebat tentang khayalan-khayalan kita yang diprospek kan untuk Bunda. Kita berkisah tentang mimpi-mimpi kita yang akan membawa kita berkelana ke ujung dunia. Terus mengkhayal sampai cacing kremi menantang. Melayangkan pukulan-pukulan fana yang memaksakuu ntuk makan.

"Mah, Ade lapar. Pengen makan." Manja sekali, kata-katanya.

"Ade pengen apa? Sok, mumpung kita masih di Tasik pasti Mamah beliin."

Matanya melirik ke atas. "Ade pingin kornet, dan martabak telor, Mah."

"Siap." Dia mengusap hidung anaknya yang mancung. 'Nanti Mamah, suruh Mang Ujang membelinya."

*****

Sekotak martabak telor yang hangat jadi teman setia di malam yang dingin. Mang Ujang telah datang membawa pesanan. Laksanakan semut-semut kecil yang menatap gula, semuanya berkumpul di ruang tamu yang sesak, dipenuhi kebahagiaan. Trio Bocah (Wulan, Dafa, dan Ulan) begitu lincah menyantapnya; Dina senyum -senyum sendiri dengan pesan misteriusnya ; Eri yang manja sedang disuapin oleh bundanya, Bi Pipih yang penuh kasih. Di ruang tengah kami berkumpul dengan bungah menonton acara Supersoulmate show yang jadi sumber tawa para rakyat jelata. Sule dan Jaja jadi puncak komedi malam itu, komedi slapstick mengena dihati.

"Lal, buka mulutmu, A!" Mamah menyuapi anak penengahnya."Lihat, ada pesawat masuk!" candanya.

Lihat selengkapnya