"Selamat jalan goodboi, helo badboi." Senyum nakal tergores dari bibir manisku.
Di kala putih biru berganti berputih Abu-Abu, itulah saat metamorfosis remaja dimulai. Kita akan haus akan ilmu, lapar akan cinta, dan terpesona ikatan persahabatan yang entah bertahan sampai kapan. Sekolah adalah tempat perbudakan bagi para domba-domba kecil yang sedang belajar terbang — aku sang elang kesepian, sekolah itu tempat mencari makan. SMK Kupu-Kupu jadi tempat bagiku bermetamorfosis.
Ini sejarah pertamaku masuk SMK, kupastikan diriku tak dirundung seperti kala aku kecil. Inilah aturan Sang Elang. Ada tiga aturan tak tertulis semenjak masuk SMK. Kesatu, aku takkan mematuk kalau tak diganggu. Kedua, aku takkan pernah melawan guru kecuali dia hina ibuku. Ketiga, seandainya ada lelaki yang berani menghinaku, aku bersumpah untuk mematahkan lehernya. Demi Billie Joe Armstrong, dan Pierre Bouvier yang sering melantunkan musik punk, rock n roll yang jadi anthemku, kupegang teguh kata-kataku sampai kiamat.
"Cermin katakkan padaku, siapa yang paling ganteng?" Mata tajamku menatap manja ke arah cermin. Tanganku asyik melahap serabi hangat buatan Mamah.
"Bukan kamu, Tuan." Kujawab sendiri.
"Cermin, katakan padaku, siapa yang paling culun."
"Tentu saja Anda. Wahai Tuanku." Kujawab sendiri.
"Salah. I am badass. You baka!" kumaki bayanganku sendiri.
Mamah, Emak, dan Diman yang sedang asyik sarapan, terpesona dengan kesintinganku.
Aku tampil dengan begitu angkuh. Rambutku gondrong laksana seniman, hidungku mancung seperti Arab, dan hatiku masih terluka seperti biasanya. Tiada motor CB 100 terparkir dalam garasiku — yang mana aku tak punya. Rasanya tak mungkin berangkat pakai Hotwheels. Hanya modal dengkul dan restu orang-tua aku berjalan santai menuju sekolah baru yang akan merindukanku : SMK Kupu-kupu.
"A, kamu gak naik angkot?" Mamah mengeluarkan lembaran tiga rebuan.
"Aku masih bisa berjalan, cukup sepatu Warriors-ku saja yang menemani perjalananku." Senyumku sendu.Mataku melirik ke permen KISS, dan Golia yang terkurung dalam toples. Kuambil tujuh biji, "Sama ini, Mah. Si manis."
Sebelum pergi jauh, kusentuh lalu kucium tangan ibunda dengan mesra. "Mah, Aa pergi dulu." Lesung pipiku yang kecil telihat jelas. Seraya memasukan tangan pada saku celana, kuputar tubuhku lalu menjauh dari bayangannya. Ala-ala Sasuke Uchiha, aku mengucap, "Tolong, ikan tongkolnya jangan disantap, sisakan untuku nanti. Kalau enggak... Omae wa mou shindeiru! "
Dan aku pun meleos pergi.
"Ngomong naon si Aa Teh, Man?" Matanya menyipit. Dia melihat ke arah Diman yang asyik ngemil kupat tahu.
Mukanya camerok.
"Bahasa Jepang, Mah." Emak yang hidup di jaman penjajahan
menjawab.
"Naon artinya?"
"Aku cinta kalian semua!" Diman sok tahu.
"Iyah, itu artinya, " kata Emak yang cuma bisa bahasa Sunda.
"Masyaallah!" Mamah mengelus dadanya.Betapa bahagianya dia pada anaknya yang jago bahasa. Dengan senyum mekar diwajahnya, dari jauh Mamah melambai pada anaknya sambil berkata, "Oreo Mak Mu, Sendiriu!"
Aku tertawa cerah. Melambaikan tangan tanpa menengok. "Yare, yare, daze."
"Dek, kalo udah gede jangan kebanyakan nonton Naruto, yah.
" Dia menaruh asa pada Dimana.
"Kenapa, Mah?" Mamah penasaran.
"Pusing Mamah nerjemahinnya."
Diman tersenyum gemas. Mata sipitnya menyipit, "Tenang saja. Aku mah nontonnya Spongebob, ya."
Keringat dingin menetes diwajahnya. Mamah menelan ludahnya.
“Omae wa mou shindeiru” (“お前はもう死んでいる”) yang artinya : kamu sudah mati tanpa kamu sadarri. Untungnya, Mamah tak bisa bahasa Jepang sehingga nasibku mujur tak seperti Malin Kundang atau Sangkuriang.
Aku pun baru tahu artinya. Kukira itu "selamat jalan".
******
Bunga-bunga ditepi jalan, menunduk kalau melihatku ; angin menyapa setiap kali aku melangkah ; dunia tersenyum setiap kali aku menatapnya. Hari itu kehadiranku jauh lebih penting daripada kehadiran pejabat di masa pandemik.
Anak-anak baru yang baru berkeliaran menatap sendu ke arahku. Dari jauh, kulihat Tika, Triya, dan kawan-kawanku di SMP.
"Dia si ganteng yang adiknya baru meninggal itu, ya?"